Sejarah Dinasti Tahiriyah

A. Lahirnya Dinasti Thahiriyah

Dinasti Thahiriyah adalah dinasti kecil yang muncul pada masa daulat Abbasiyah disebelah timur Bagdad, berpusat di Khurasan, dengan ibukota Naisabur didirikan oleh Thahir Ibn al-Husaen. Ia adalah keturunan Maula (klien) Persia. Ia adalah seorang panglima yang mendukung al-Ma'mun dalam perang saudara dalam menghadapi al-Amin.

Setelah panglima Thahir dapat mengalahkan para pendukung al-Amin, ia diangkat oleh al-Ma'mun menjadi gubernur sebagai balas jaza.  Kehebatan panglima Thahir dengan kepiawaian kedua tangannya dalam peperangan semakin menambah keyakinan khalifah al-Ma'mun untuk mengangkat sebagai gubernur Khurasan dengan Naishabur sebagai kotanya. Kemenangan dan kemahirannya dalam berperang, sehingga al-Ma'mun memberi gelar Zual Yanainain (terampil)    

Pada masa itu di Khurasan terjadi pemberontakan oleh kaum khawarij yang meronrong kekuasaan khalifah dapat ditumpas oleh panglima Thahir. Dengan kelengkapan kemenanganya ini, khalifah al-Ma'mun memberikan sub-otonomi daerah Khurasan. Untuk meyakini hubungan dengan khalifah ia cukup membayar pajak tahunan. Hal ini semakin memperkokoh kedudukan Thahir sebagai penguasa tunggal di Khurasan, sehingga menjadi sebuah dinasti dengan nama Thahiriyah. Ini merupakan dinasti pertama yang mendapat otonomi di daerah Timur Bagdad, yang dipegangnya selama dua tahun (205-207 H/ 820-822 M), karena ia meninggal disebabkan sakit demam yang dideritanya. Versi lain ia meninggal karena keracunan.

Gubernur penggantinya yaitu Talha bin Thahir, diangkat juga oleh khalifah al-Ma'mun. dia memegang kekuasaan di Khurasan sampai wafatnya tahun 213 H/828 M. Dalam pemerintahanya ia berusaha meningkatkan kerjasama dengan pemerintah pusat. Pemegang kekuasaan berikutnya yaitu Abdullah bin Tahir, saudaranya sendiri. Pengangkatan ketiga oleh khalifah al-Ma'mun ini menunjukan bahwa keluarga Tahir memperoleh penghargaan dalam pemerintahan. Abdullah bin Tahir berusaha meningkatkan kerjasama dengan pemerintahan pusat di Baghdad (al-Ma'mun) terutama dalam menghadapi para pengacau dan pemberontak. Menjaga stabilitas  Bani Abbas sebagai penguasa, memperbaiki perekonomian, memantapkan keamanan, ilmu pengetahuan serta akhlak yang menjadi perioritas utamanya.

Penguasa penggantinya yaitu Muhammad bin Thahir yang memerintah mulai pada tahun 248-259 H/864- 873 M. dinasti Tahiriyah mengalami kemunduran karena kapabelitas pemerintahannya lemah dia tidak seperti pendahulunya. Pada masa itu pula muncul suatu kekuatan baru, yaitu dari keluarga Saffar di Sajistan (Persia/Iran), dengan pimpinan Ya'qub bin Laits as-Saffar dan saudaranya Amru. Maka dengan demikian jatuhlah dinasti Thahiriyah dan Khurasan dikuasainya.

B. Dinasti Safariyah ( 254-298 H./867-910 M)

Dinasti ini berkuasa pada tahun 254-298 H./867-919 M. Nama Safariyah diambil dari propesi pendirinya yaitu pengrajin tembaga  (as-Saffar). Pendirinya adalah Ya’qub Ibn al-Layts. Pada mulanya ia adalah seorang pengusaha kuningan yang kaya, namun setelah usahanya gagal, ia beralih profesi menjadi kepala perampok yang sasarannya adalah orang-orang kaya Sistan, namun suatu hal yang unik pada dirinya yaitu sifat dermawannya terhadap kaum miskin. Sering kali ia merampok untuk memenuhi tuntutan atas kepeduliannya terhadap kaum miskin sebagai akibat terjadinya kesenjangan sosial pada saat itu. Ia adalah Robin Hood pada jamannya didalam sandiwara radio kita kenal dengan pendekar Budiman, di mana ia melakukan perampokan demi kepentingan orang miskin.

Pada abad kesembilan, Sistan mengalami banyak gangguan berupa pertikaian dan ketidakpuasan sosial, berbagai pihak yang merasa tidak puas yang melarikan diri ke arah Timur melalui Persia, khususnya kaum Khawarij yang pernah dikalahkan oleh Gubernur-gubernur Umayyah. Sistan merupankan tempat pelindung. Hal ini meronrong kewibawaan khalifah, sementara itu dinasti Thahiriyah lemah untuk menghadapi mereka. Ya’qub dengan kelompok garongnya, bergabung dengan tentara pemerintah sebagai sukarelawan untuk mempertahankan ortodoksi sunni di Sistan.

Dalam menumpas pemberontakan, ia berhasil meguasai Sistan, dan menduduki kota Kandar yang terletak di bagian Barat Afganistan. Atas keberhasilan itu, ia dipercaya oleh khalifah untuk memimpin daerah-daerah di timur. Dengan demikian ia semakin kuat kedudukanya.dengan adanya kekuatan yang di miliki, maka ia menyalah gunakan kepercayaan yang diberikan khalifah.ia menyerbu Naisabur. Ibukota dinasti Thahiriya, di Khurasan dan ia menduga bahwa penduduk Khurasan bersimpati kepadanya untuk melepaskan  dari kekuasaan keluarga Thahiriya. Dan akhirnya Khurasan dikuasai sepenuhnya oleh Ya’qub bin al-Lais.


Setelah Ya’qub ibn al-Laits menguasai kekuasaan, ia berusaha menyerang sisa-sisa daerah kekuasaan dinasti Thahiriyah. Usaha Ya’qub diperingatkan oleh khalifah al-Mutamid untuk mengurus daerah-daerah yang sudah dikuasai, namun ia meluaskan ekspansinya menuju ke Persia, Iraq, dan Ahnaz. Melihat kekuatan Ya’qub yang makin besar itu malah justru khalifah menyerahkan Khurasan. Sistan, Jurjan dan Ray. Dengan  demikian, ia resmi menjadi penguasa penuh propinsi Sistan, yang meliputi Afganistan dan pinggiran India serta hampir seluruh Persia kecuali daerah Barat Laut.

Daulah Shaffariyah membebaskan diri dari kekuasaan pusat Baghdad pada tahun 253 H./876 M. pada tahun itu pula pendeklarasian daulah Saffariyah, dengan pimpinan Ya'qub dan menyatakan dirinya sebagai amir yang pertama pada daulah itu. Dia melepaskan diri pada masa khalifah al-Mu'taz (252-255 H/ 866-868 M). Ya'qub  ibn Lais membangun rakyatnya dengan meletakkan sendi-sendi yang kokoh bagi kekuasaanya. Pada masa ini Islam betul-betul menjadi pioner seluruh penduduk wilayahnya. Sepeninggal Ya'qub maka diangkatlah saudaranya Amr bin Lais, dan dia tak kalah cerdasnya mengatur siasat dalam bidang pemerintahan, olehnya itu sebagian besar wilayah Iran jatuh dalam kekuasaanya.

Daulah Shaffariah berkuasa dibawah empat amir yang memerintah secara berkelanjutan, dan setelah amir keempat tidak lagi berkelanjutan karena terjadi banyak kemelut dan perebutan kekuasaan yang dimotori oleh bangsa Tansosania yang sesungguhnya daerah bawahan Sammaniah. Dan ternyata terlalu kuat bagi Shaffariyah. Amir Ismail ibn Ahmad mengalahkan amir dan menangkapnya. Oleh karena itu kreasi penakluk militer daulah Saffariyah lalu tumbang. Dengan demikian pada tahun-tahun pertama dari abad X Sistan berada dibawah kekuasaan Samaniah. Tetapi di dalam ensklopedi Islam dinasti Saffariyah dipimpin 32 amir. Akan tetapi khalifah-khalifah sesudah Lais bin Ali bukan lagi penguasa yang kuat. Tetapi mereka tidak lagi independen, melainkan tunduk kepada dinasti-dinasti yang berkuasa, seperti Samaniah, Gasnawi, Saljuk dan mugal.

Hal penting yang dapat dicatat dari dinasti ini adalah mereka memperkenalkan Islam ke Asia Tengah dan para khalifahnya sangat mengutamakan keadilan dan kesamaan hak diantara rakyatnya, serta memberi perhatian yang besar kepada golongan miskin.     

C. Dinasti Ibn Tulun (254 – 292 H/868 – 905 M)

Seperti telah disebutkan sebelumnya, orang-orang Turki secara penuh memegang kendali pemerintahan daulah Abbasiyah. Kekuasaan tersebut tidak hanya terbatas pada kotaraja, namun menjangkau wilayah-wilayah Islam lainnya termasuk Mesir.

Telah menjadi kebiasaan, Mesir menjadi wilayah iqta’ (daerah jatah) bagi pembesar Turki. Menjadi kebiasaan pula bagi para pembesar yang diserahi kekuasaan atas Mesir untuk tetap tinggal di kotaraja berdampingan dengan khalifah di Baqdad ataupun di Samarra. Mereka hanya mengutus orang kepercayaan untuk memerintah Mesir.

Demikianlah pada masa al-Mutawakkil, Baybak ditunjuk sebagai gubernur Mesir. Baybak kemudian mencari orang yang akan mewakilinya memerintah. Ia ditunjukkan kepada Ahmad bin Tulun yang dikenal memiliki reputasi baik yang juga merupakan anak tirinya. Maka Ibnu Tulun secara resmi menjadi wakil pemerintahaan dan membawahi Mesir dan beberapa wilayah sekitarnya.

Setelah diberi kekuasaan pada tahun 254 H/868 M, ia langsung mengendalikan semua bidang; pemerintahan, ekonomi dan militer. Beberapa waktu kemudian Baybak meninggal dan digantikan oleh Yarkhukh. Ibnu Tulun menikahi puteri gubernur baru itu sehingga tetap berada di posisinya. Karena kapabel dalam mengendalikan pemerintahaan, kondisi Mesir menjadi sangat kondusif untuk menjadi sebuah daulah yang berdiri sendiri.

Pada masa khalifah al-Mu’tamid, keinginan untuk melepaskan diri nampak sangat kuat setelah timbul perseturuan antar Ibnu Tulun dengan saudara khalifah yang juga sebagai putera mahkota, Ahmad al-Muwaffaq. Ibnu Tulun yang terus menerus mengirimkan bantuan material ke Kotaraja sebagai bantuan untuk memadamkan pemberontakan Zinj, dianggap tidak loyal dengan bantuan yang sangat sedikit. Hal tersebut juga disertai surat penuh umpatan dan ancaman. Sebagai jawaban, Ibnu Tulun memproklamirkan Dinasti Ibn  Tulun resmi berpisah dari Daulah Abbasiyyah.

Adapun Kemajuan Daulah Ibn Tulun dibeberapa bidang yaitu;

1. Bidang Pengembangan Wilayah

Dinasti Ibn Tulun berdiri pada tahun di mana kerajaan Byzantium memulai kegiatan pencaplokan wilayah Islam di Asia kecil dan Timur Laut Tengah. Menyadari hal itu Ibnu Tulun langsung menata militernya. Karena gerakan Byzantium di pesisir Timur Laut Tengah, Ibnu Tulun secara baik menyiapkan tentara marinir sebagai kekuatan utama. Untuk menjamin keamanan Mesir, ia melihat adanya keniscayaan untuk menyatuhkan Mesir dengan Suriah. Keinginan untuk menyatuhkan Mesir dengan Suriah akhirnya terealisasikan pada tahun 263 H, memanfaatkan kematian gubernur Suriah kala itu. Setelah bersatunya kedua wilayah itu, dinasti Ibn Tulun menjadi kekuatan besar Islam di bagian Timur.

2. Bidang Militer

Ibnu Tulun membentuk kekuatan militer yang sangat besar karena menyadari banyaknya ancaman terutama dari kerajaan Byzantium. Al-Maqriziy dalam riwayatnya menyebutkan bahwa Ibnu Tulun sangat royal dalam membeli Budak Turki sehingga mencapai angka 24 ribu. Demikian juga ia membeli budak orang hitam sebanyak 40 ribu dan juga merekrut orang Arab hingga jumlahnya mencapai 70 ribu orang. Orang-orang Arab ini adalah orang yang merdeka dan profesional.

Karena jumlahnya yang sangat besar, Ibnu Tulun membuka kota baru sebagai pusat kota diberi nama kota al-Qatai. Pembangunan di bidang militer mendapat perhatian utama sebagai infra-struktur sebuah daulah yang menghadapi ancaman luar. Hal itu juga tidak lepas dari sosok Ibnu Tulun sebagai bekas tentara daulah Abbasiyah dan banyak mempelajari siasat militer di Samarra. Selain itu ayahnya adalah panglima, pengawal khalifah pada masanya.

3. Bidang Keagamaan

Ibnu Tulun dalah sosok yang religius. Ia pernah menimba ilmu agama dan ilmu fiqh di Baqdad dan Tarsus. Dalam riwayat, Ibnu Tulun biasanya shalat Jumat di mesjid al-Askar di Afaustat dengan penduduk yang cukup padat hanya terdapat dua mesjid, yaitu mesjid ‘Amru bin As dan al-Asakir. Tatkala ia merasa sesak, ia pun menginstruksikan pembangunan mesjid baru. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa alasan pembangunan mesjid adalah atas permintaan penduduk Mesir. Mesjid Jami Ibnu Tulun adalah satu-satunya monumen yang tersisa dari kota al-Qatai. Memperhatikan fisik mesjid ini, kita dapat berkesimpulan telah terjadi transformasi di bidang arsitektur, dari corak Byzantium ke corak baru dengan pengaruh dari seni Abbasiyyah. Seperti pada bentuk bangunan yang menyerupai benteng.

Keberadaan mesjid ini menunjukan perhatian besar yang diberikan Ibnu Tulun terhadap semangat keberagamaan. Mesjid ini digunakan tidak hanya sebagai tempat ibadah, namun juga sebagai pusat pendidikan keagamaan.

4. Bidang Sosial

Mesir dan Suriah di masa Ibnu Tulun hidup dalam kesejahteraan dan iklim kebebasan sebagai wujud dari sosok Ibnu Tulun yang bijak dan pemurah, serta tegas pada suatu keadaan khusus. Pada masanya dibangun rumah sakit (marstan dan primarstan) dilengkapi apotik untuk melayani rakyat secara cuma-cuma. Selain itu, disamping mesjid dibuat bangunan khusus untuk memberi obat dan minum bagi jamaah yang membutuhkan.

Ibnu Tulun berhasil membawa Mesir ke Kesejahteraan. Sektor-sektor produktif bertumbuhan, pembangunan infra-struktur kota berkembang. Pada masanya, Mesir dan Suriah menikmati kemajuan di berbagai bidang kehidupan sosial. Rekrutmen yang dilakukannya atas orang Arab Sudan, melebarkan jalan baginya untuk kerjasama dalam bidang ekonomi dengan rakyat Sudan.

5. Bidang Pertahanan dan Politik


Pergerakan tentara Byzantium ke wilayah Islam dimulai pada tahun yang sama Ibnu Tulun mulai memerintah Mesir. Sadar akan hal itu, benteng-benteng di Mesir disiapkan dan dipersenjatai seperti di Damietta dan Alexandria. Di Suriah, wilayah-wilayah perbatasan atau wilayah sugur seperti Akka dan Yafa diperbaharui dan dikokohkan. Strategi yang diterapkan Ibnu Tulun dalam menghadapi ancaman Byzantium dangan menyatuhkan Mesir dan Suriah. Ibnu Tulun dapat mendahului penyerangan atas wilayah kekuasaan Byzantium di kepulauan laut Ega. Hal ini yang membuat Byzantium kembali meminta gencatan senjata dan terkadang menyodorkan tawaran perdamaian dengan imbalan upeti, seperti yang terjadi pada tahun 265 H/878 M. Ibnu Tulun wafat setelah memerintah selama 16 tahun. Ia digantikan oleh puteranya Khumarawaih yang melanjutkan apa yang telah dilaksanakan ayahnya dalam mempertahankan keutuhan Mesir dan Suriah.

Daulah Abbasiyah tidak dapat berbuat banyak setelah proklamasi Dinasti Ibn Tulun disebabkan dua hal yaitu: pertama, kondisi internal yang tidak memungkinkan untuk mengembalikan wilayah Mesir dan kedua, Dinasti Ibn Tulun adalah benten pertahanan sekaligus straiker dari serangan Byzantium.

Namun Abbasiyah tetap menunggu kesempatan untuk mengembalikan Mesir dan Suriah. setelah Khumarawaih naik tahta. Al-Muwaffaq berhasil menduduki Suriah dan bergerak ke Mesir. Tetapi Khumarawaih dapat mengatasinya. Hasil dari pertempuran di atas diadakan perjanjian damai selama 30 tahun. Setelah kematian Al-Muwaffaq, hubungan kedua daulah ini semakin kuat dan diperkuat lagi dengan perkawinan khalifah al-Mu’tadid dengan puteri Khumarawaih yang bernama Qatrunnada.

Setelah Khumarawaih meninggal, eksistensi daulah ini tidak bertahan lama, ia digantikan oleh anaknya, Abu al-Asakir Jaisy, kemudian Harun. Sedangkan Khalifah terakhir adalah Syaiban dimana keadaan telah tidak stabil dan masuknya tentara Abbasiyah yang mengakhiri sejarah dinasti Ibn Tulun pada tahun 292 H/905 M.

Secara umum keruntuhan dinasti ini disebabkan oleh dua faktor: pertama, adalah gerakan Qaramitah yang bergerak dilapisan masyarakat bawah dengan janji kehidupan lebih baik. Gerakan ini sempat menduduki beberapa wilayah Suriah. Faktor kedua adalah usaha daulah Abbasiyah yang terus berusaha merebut kembali Mesir. Kedua faktor ini bekerja secara simultan dan akhirnya meruntuhkan Dinasti Ibn Tulun yang telah kehabisan tenaga, menghadapi Qaramitah. Keadaan ini digunakan dengan baik oleh khalifah al-Mustakfi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Razzaz, Hasan. Al-Siyahah al-Diniyyah fi Missr. Cairo: Mu’assasah Dar al-Sya’b, 1999.
Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Cet. III, Jakarta: Ichtiar Baru Van Haeve, 1994.   
Hamka. Sejarah Daulah Abbasiah.  Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,  1997
Hasan, Ilyas. Dinasti-Dinasti Islam. Cet. I; Bandung: Mizan 1993.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. Cet. X; ltd. Londong: The Macmillan Press, 1970.
Ibnu Asir.  A-Kamil fi al-Tarikh. Juz VII  Bairut: Dar al-Fikr, 1979.
Ibrahim Hasan, Hasan. Trikh al-Islamiy. Jilid II Cet. IX; Kairo: Maktabah al-Najah Mishiriyah, 1979.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. I; Jakarta Logos, 1997.
Mustafa, Nadiah Mahmud, et.al. al-Dawlah al-Abbasiyyah Min al-Takhalliy ‘an Siyasat al-Fath ila al-Suqut. Cet. I; Cairo: al-Ma’had al-‘Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, 1996.