A. Pengertian Madrasah

Istilah madrasah berasal dari dunia Islam Timur Tengah yang berkembang sekitar ke-10 M, yang diklaim sebagai simbol kebangkitan kaum Sunni. Istilah ini kemudian diadopsi oleh umat Islam di Indonesia. Bahkan, telah menjadi salah satu wujud dari etnis budaya Indonesia, yang dengan sendirinya mengalami proses sosialisasi yang relatif insentif. Indikasinya adalah wujud intentitas budaya ini telah diakui dan diterima kehadirannya di Indonesia. Secara etimologis, kata مدرسة merupakan isim mak±n dari kata درس yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Di Indonesia, istilah madrasah telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan, khususnya yang bernuansa Islam. Dengan demikian, secara harfiah, kata madrasah memiliki kesamaan arti dengan sekolah agama. Setelah mengarungi perjalanan peradaban bangsa, diakui telah mengalami perubahan-perubahan, walaupun tidak melepaskan diri dari makna asal sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.

Jika pandangan diarahkan kepada SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri tahun 1975, madrasah diartikan sebagai lembaga pendidikan yang yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30 % di samping mata pelajaran umum. Dengan demikian, di lembaga pendidikan madrasah,peserta didik memperoleh pembelajaran mengenai hal ihwal dan seluk beluk agamadan keagamaan Islam. Karenanya, dalam pemakaiannya, kata madrasah lebih dikenalsebagai sekolah agama.

B. Latar Belakang Lahirnya Madrasah di Indonesia

Secara global, kelahiran bentuk madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang lahir pertama kali di Timur Tengah, dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain:

  • Halaqah-halaqah (lingkaran) yang dapat digambarkan sebagai kelompok-kelompok belajar yang diadakan di mesjid-mesjid, biasanya mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang didalamnya terjadi berbagai diskusi dan perdebatan sehingga sering mengganggu orang-orang yang beribadah di mesjid. Keadaan ini mendorong untuk segera memindahkan halaqah-halaqah itu keluar mesjid, sehingga didirikanlah bangunan yang digunakan khusus untuk pendidikan (di luar mesjid).
  • Perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian pesat, menuntut konsentrasi khusus dalam penanganannya, sehingga diperlukan lebih banyak ruang-ruangan dan kelas-kelas untuk mengajarkan dan menampung para murid yang kian hari kian bertambah banyak.
  • Timbulnya aliran dalam fikih, ilmu kalam, hadis, dan pengetahuan umum, di satu pihak menghasilkan buku-buku hasil pemikiran dan penemuan ilmu yang mengagumkan, tetapi di pihak lain melahirkan sikap fanatisme pada aliran atau mazhab pemikiran tertentu, sehingga madrasah menjadi lembaga alternatif yang dapat digunakan untuk menyebarkan aliran atau mazhab pemikiran tertentu.
  • Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah,ketika bangsa Turki mulai berpengaruh, mereka berusaha untuk mempertahankan kedudukan dalam pemerintahan, dengan berusaha menarik hati rakyat umum dengan mendirikan madrasah-madrasah di berbagai tempat, dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan, serta mendatangkan guru-guru yang digaji secara khusus untuk mengajar di madrasah-madrasah tersebut.
  • Di antara motivasi kalangan penguasa dan orang kaya yang mendirikan madrasah, ada juga yang mengharapkan pahala dan ampunan dari Allah. Bahkan, di antara pembesar negara pada masa itu yang mungkin sering melakukan perbuatan dosa, mau mendirikan madrasah dengan mewakafkan hartanya sebagai salah satu cara untuk menebus dosa.Meski demikian, perlu dipahami bahwa kelahiranmadrasah di Indonesia bukan bentuk adopsi langsung terhadap praktek madrasah diTimur Tengah tersebut, sehingga secara otomatis, latar belakang lahirnyamadrasah di Indonesia tetap pula dalam format yang berbeda. Dalam perspektif historis, lembaga pendidikan Islam yang pertama didirikan di Indonesia adalah berbentuk pesantren. Karenanya, pesantren disebut sebagai bapak dari pendidikan Islam di Indonesia. Sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Baratnya, dengan karakternya yang yang relegius oriented, pesantren telah mampu meletakkan dasar keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam, tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Masuknya model pendidikan Barat pada sekolah yang didirikan oleh pemeritan kolonial Belanda, membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, yakni mengarah kepada dikhotomi ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (umum). Dualisme pendidikan yang konfrontatif tersebut, telah mengilhami munculnya gerakan reformasi dalam pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pesantren. Dari situlah embrio madrasah lahir. Pada sekitar abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem pengajaran yang berkembang di dunia Barat. Untuk menjembatani agar tidak terjadi kesenjangan yang terlalu jauh, maka sistem pendidikan pesantren yang ada harus diperbaharui. Usaha pemerintah kolonial Belanda melalui politik pendidikan, mendapat respon dari umat Islam. Penyatuan lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian diimbangi dengan berdirinya madrasah-madrasah, yang dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga pendidikan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan.
Jadi, kelahiran madrasah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam. Atau dengan kata lain, madrasah merupakan perpaduan antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan umum yang dilakukan oleh kolonial Belanda.

Bila dianalisis lebih jauh, kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
  • Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan sekolah umum.
  • Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya para santri yang terpukau pada sistem pendidikan Barat.
  • Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisioal yang dilaksanakan oleh pesantren dengan sistem pendidikan modern dari pemerintah kolonial Belanda.
Kalau pandangan diarahkan kepada sejarah pendidikan Islam, madrasah yang pertama berdiri di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera Barat) yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Setelah itu, Madrasah D³niyah mulai berkembang di seluruh pelosok Indonesia.

Selanjutnya, pada tahun 1916, di lingkungan Pesantren Tabuireng, Jombang (Jawa Timur), didirikan Madrasah Salafiyah oleh Nahdatul Ulama. Sedangkan pada tahun 1918, di Yogyakarta berdiri Madrasah Muhammadiyah. Pada dua madrasah ini dilakukan pembaharuan dengan memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulumnya.

Dari cikal bakal pertumbuhan madrasah tersebut, akhirnya madrasah mengalamiperkembangan yang pesat di seluruh wilayah Indonesia, dengan nama dan tingkatanyang bervariasi. Dalam proses perkembangannya itu, madrasah mengalami strategipengelolaan yang selalu berubah, sesuai dengan tuntutan zaman.

Pada era sebelum proklamasi kemerdekaan, madrasah dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, dengan mengabaikan tujuan hidup duniawi. Akibatnya, madrasah memiliki posisi yang jauh berbeda dengan sistem pengajaran pada sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengarahkan programnya kepada intelektual peserta didiknya, guna memenuhi kehidupan yang sekuler.

Seiringdengan tuntutan kemajuan masyarakat, maka setelah proklamasi kemerdekaan padatahun 1945, madrasah yang eksistensinya tetap dipertahankan oleh tokoh-tokohumat Islam, strategi pengelolaannya diusahakan agar semakin mendekati sistempengelolaan sekolah-sekolah umum.  

C. Eksistensi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional

Setelah dikeluarkannya SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) pada tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, maka strategi pengelolaan madrasah semakin mengalami kemajuan. Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, pada diri madrasah telah terjadi fenomena baru, yaitu dimasukkannya mata pelajaran umum dengan prosentase yang cukup tinggi, yaitu 70 % di samping mata pelajaran agama Islam. Selain itu, madrasah ditetapkan menjadi tiga tingkat, yaitu MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang setingkat dengan SD, MTs (Madrasah Tsanawiyah) yang setingkat dengan SMP, dan MA (Madrasah Aliyah) yang setingkat dengan SMA. Sejak saat itu, ijazah madrasah diakui sederajat dengan sekolah umum yang setingkat. SKB 3 Menteri tersebut merupakan legalisasi dari tuntutan zaman, sebab madrasah dituntut untuk mengikuti berbagai perkembangan sosial dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi sehingga madrasah-madrasah yang ada menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah umum. Apalagi setelah terbukanya kesempatan penegrian bagi madrasah swasta, atau sekurang-kurangnya memfilialkannya dengan madrasah negeri.

Pada tahun 1984, terbit SKB antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 9299/U/1984 dan Nomor 45 tahun 1984 tentang Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. SKB tahun 1984 ini merupakan tindak lanjut dari SKB 3 Menteri pada tahun 1875. tujuannya tidak hanya mensejajarkan antara sekolah umum dengan madrasah dalam penjenjangan dan mutu pendidikan, tetapi juga diupayakan penyeragaman dan pembakuan dalam struktur program dan kurikulum.

Sebagai konsekuensi dari status keberadaan madrasah tersebut, di satu pihak madrasah memikul tanggung jawab sebagai lembaga pendidikan umum yang sama dengan sekolah umum. Sementara itu, pada sisi lain, madrasah memiliki tanggung jawab sebagai lembaga pendidikan Islam. Dengan posisi seperti itu, maka tanggung jawab madrasah jauh lebih besar dan berat dibandingkan dengan sekolah umum yang sederajat.

Pemberlakuan UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindak lanjuti dengan PP No. 28 tahun 1990, semakin memperjelas posisi madrasah sama dengan sekolah umum yang berciri khas Islam. Hal ini dapat dilihat secara jelas pada dua Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai berikut:

  • SK No. 0490/U/1992 tentang Sekolah Menengah Umum. Dalam SK ini ditetapkan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
  • SK No. 054/U/1993. Dalam SK ini ditetapkan bahwa MI adalah SD dan MTs adalah SLTP yang berciri khas Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
Oleh karena itu, untuk memberikan ciri khas pada madrasah, maka diupayakan memberikan nuansa IPTEK pada bidang studi agama. Program mafikkib  dengan nuansa agama dan agama dengan nuansa IPTEK, merupakan upaya untuk menjembatani dan memadukan antara bidang studi mafikibb dengan bidang studi agama, sehingga antara keduanya terjadi hubungan yang serasi dan saling melengkapi.

Dalam kurikulum madrasah pada tahun 1994, disebutkan bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam. Ciri khas Islam yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Mata pelajaran keagamaan yang diajarkan adalah Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah dan Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.
  • Suasana kehidupan pada madrasah adalah suasana kehidupan yang agamis. Hal ini ditandai dengan adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran, serta kualifikasi guru yang beragama Islam dan berakhlak mulia.

Dari pengembangan kurikulum madrasah di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan pada madrasah dirancang dan diarahkan untuk membantu, membimbing, melatih, dan menciptakan suasana agar lulusannya menjadi muslim yang berkualitas. Dalam artikata, mereka akan mampu mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, danketerampilan yang berperspektif Islami dalam konteks ke-Indonesiaan.

DAFTAR PUSTAKA 


Asrohah, Harun. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001.
Djamaluddin, M. dan Abdullah Ali. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Djumhur, I dan Danasuparta. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. VII; Bandung: PT Bina Ilmu, 1974.
Ismail, Zainal, et al. Pedoman Majlis Taklim. Jakarta: Proyek Penerangan Bimbingan Dakwah Khotbah Agama Islam, 1984.
Mappanganro. Eksistensi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional. Ujung Pandang : CV. Berkah Utami, 1996.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001.
Shaleh, Abdul Rachman. Pendidikan Agama dan Keagamaan. Cet. I; Jakarta: PT Gema Windu Nanca Perkasa, 2000.
Tilaar, A. R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.