Muawiyah bin Abi Sufyan dilahirkan di Mekkah pada tahun 600 Masehi, empat tahun sebelum Nabi SAW menerima wahyu pertama dan wafat pada tahun 680 M di Damaskus. Nama lengkapnya adalah Muawiyah bin Abi Sufyan Sakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay. Ia seorang bangsawan dari suku Quraish. Nama panggilannya, Abu Abd. Ar-Rahman, digelari dengan “paman orang mukmin”. Ibunya bernama Hindun binti Rabi’ah bin Abdi Syams. Sedang bapaknya bernama Abu Sufyan, seorang Quraish  pada mulanya sangat membenci Nabi. Tetapi akhirnya masuk Islam setelah ia mendapat jaminan berupa keamanan dengan berlindung dirumahnya pada peristiwa penaklukkan Kota Mekkah.

A. Biografi Muawiyah Bin Abi Sufyan

Muawiyah bin Abi Sufyan  mempunyai beberapa isteri dan anak. Yang pertama, Masyun binti Unaif al-Qalbiyah. Dari perkawinan ini lahirlah Yazid yang kelak menggantikan posisi Muawiyah sebagai Khalifah. Isteri kedua, Fakhitah binti Karazat bin Amr bin Naufal bin Abdi Manaf, lahirlah Abdul Rahman dan Abdullah. Ketiga, Nailah binti Ammarah al-Kalbiyah dan isteri keempat, Katwah binti Karazat yang merupakan saudara dari isteri keduanya, isteri ketiga diceraikan dan yang keempat meninggal dunia.

Para ahli sejarah memberi penilaian yang berbeda-beda mengenai pribadi yang terdapat pada muawiyah ini. Menurut Syed Mahmudunnasir, dalam diri muawiyah ini digabungkan sifat-sifat seorang penguasa, politikus dan administrator. Ia seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia. Ia berhasil memanfaatkan para pemimpin, politikus, administrator yang paling ahli kala itu. Sedangkan menurut Philip K Hitti, muawiyah memiliki watak dan kecakapan yang luar biasa. Ia biasa mengambil tindakan tegas jika dalam posisi terpaksa serta selalu berusaha menguasai keadaan.

Muawiyah menjadi teladan dalam kesabaran, kecerdikan, toleransi, pengendalian diri, dan pemberian maaf ketika mampu. Dia mengetahui bagaimana cara menarik perhatian musuh-musuhnya dan para penantangnya yaitu dengan kesabaran dan kewibawaannya, seperti yang dilakukan Nabi terhadap orang-orang yang baru masuk Islam; selain dengan keyakinannya sendiri bahwa biaya perang dan resikonya lebih tinggi di bandingkan pemberian yang mesti ia bagikan untuk meredam penentangnya.

Muawiyah pernah berkata: “ Aku tidak akan menggunakan pedangku selama salama cambukku sudah cukup, aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antar diriku dan orang yang menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika mereka mengulurnya, maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurkannya”. Sehingga setelah itu, terkenallah Muawiyah dengan ungkapan Rambut Muawiyah dikalangan bangsa Arab hingga saat ini.

B. Latar Belakang Terbentuknya Pemerintahan Muawiyah Bin Abi Sufyan 

Sebenarnya, pertikaian yang terjadi antara Ali dari Bani Hasyim dan Muawiyah dari Bani Umayyah sudah lama terjadi. Sejak jaman jahiliyah, antara keluarga Bani Hasyim dan keluarga Bani Umayyah sering terjadi percekcokan.Puncaknya terjadi pada akhir masa pemerintahan Usman, yang dituntut untuk segera turun dari jabatannya.

Pada akhirnya, Usman dibunuh dan Ali naik menggantikan posisi Usman sebagai Khalifah. Pada masa pemerintahan Islam dipegang oleh Khalifahn Ali bin Abi Thalib, terjadi beberapa perlawanan dan pemberontakan pemberontakan yang pada intinya ingin menjatuhkan kekuasaan Ali RA. Thalhah, dan Zubair yang merupakan sahabat-sahabat Rasulullah SAW, mula mula mereka menerima Ali sebagai khalifah tapi belakangan mereka tidak mengakuinya karena Ali tidak menyetujui tuntutan mereka bahwa ia harus segera menghukum para pembunuh khalifah sebelumnya, yaitu Usman bin Affan. Maka meletuslah perang Jamal atau perang unta yang pada akhirnya dimenangkan oleh Ali. Lain lagi politik yang dijalankan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang gubernur Syiria kala itu. Beliau memanfaatkan keadaan yang ditimbulkan oleh pembunuhan Usman itu untuk kepentingan sendiri. Setelah pembunuhan Usman, orang-orang dari bangsa Bani Umayyah pergi ke Syiria dan bergabung dengan Muawiyah. Sehingga ketika penobatan Ali sebagai Khalifah, Muawiyah telah memimpin perhimpunan keluarga-keluarga Umayyah yang jumlahnya ribuan.

Disisi lain, muawiyah menuduh Ali campur tangan dalam pembunuhan Usman. Muawiyah mengatakan bahwa ia termasuk famili Usman dan ia paling berhak berbelas kasihan pada Usman dan berhak menuntut kematiannya. Maka, meletuslah perang shiffin antara tentara Ali dan laskar-laskar pengikut setia Muawiyah. Dalam perang itu tentara muawiyah dapat dikalahkan. Muawiyah yang cerdik, atas saran tangan kanannya yaitu ‘Amr bin Ash, mengikatkan al-Qur’an pada ujung tombak tentaranya dan menuntut agar perang diselesaikan dengan cara damai.

Dalam perundingan damai ini, pihak Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari dan pihak Muawiyah mengutus ‘Amr bin Ash untuk bermufakat. Peristiwa ini dikenal dengan nama Tahkim (arbitrase). Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumumkan kepada khalayak mengenai perselisihan itu. Abu Musa mula-mula menyatakan tentang peletakan jabatan Khalifah Ali dan selanjutnya ‘Amr bin Ash menerimanya, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah. Bahkan menyatakan pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah baru.

Khalifah Ali Ra menjalankan perintah hanya berkisar empat tahun sembilan bulan, setelah beliau dibunuh oleh seorang Khawarij tatkala shalat shubuh dimesjid. Penggantinya, Muawiyah yang memperoleh kekuasaan dengan cara pedang, mengubah kekhalifahan menjadi sistem kerajaan dan menetapkan pemerintah oleh dinasti-dinasti dalam Islam. Madinah, tempat Kaum Ansar dan Kufah sebagai basis penyebaran Islam saat itu, dipindahkan ibukotanya oleh Muawiyah ke Damaskus sebagai titik tolak perjuangan.

C. Pembentukan Dinasti Bani Umayyah

Dinasti adalah keturunan raja-raja yang memerintah yang semuanya berasal dari satu keluarga. Dinasti bani umayyah merupakan keturunan keluarga bani umayyah yang memerintah setelah jaman Khulafaurrasyidin secara turun-temurun. Khalifah pertama dinasti ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, walaupun sebenarnya kurang tepat dikatakan sebagai khalifah. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah SWT. Dalam kenyataannya, bentuk pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis, diubah oleh Muawiyah menjadi monarki heridetis.

Pengalaman berpolitik Muawiyah telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando panglima besar Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestina, Syiria dan Mesir dari tangan imperium Romawi, lalu menjabat sebagai gubernur di Syam yang membawahi Syiria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Umar.

Keberhasilan Muawiyah dalam pembentukan Dinasti Bani Umayyah ini bukan semata-mata hanya karena kemenangannya pada peristiwa arbitrase dan terbunuhnya Khalifah Ali sebagaimana telah diceritakan di atas. Ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya dimasa depan.  

Pertama, dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Rakyat Syiria yang patuh dan setia pada Muawiyah, mempunyai laskar ketentaraan yang kokoh, terlatih, disiplin, dan berpengalaman dalam peperangan.

Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada tempat-tempat strategis. Mereka adalah ‘Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi.

Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai seorang negarawan sejati. Ia dapat segera menguasai dirinya ketika akan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Atsir, Ibnu Al-Kamil fi al-Tarikh, Juz. III (Cet. I: Beirut: Dar al-Fikr, 1987)
Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Juz. IV (Beirut: Muassasah al-A’alalil matbuat, t. th)
Amin,  Ahmad, Fajr al-Islam, (Cet. XII; Kairo: Syirkah al-Tab’ah al-Faniyyah al-Muttahidah, 1975)
Amin, Husayn Ahmad, al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam (Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, alihbahasa oleh: Bahruddin Fannani), (Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Cet. VII, Jakarta: Balai Pustaka, 1996)
Hasan, Ali Ibrahim, Tarikh al-Islam al-‘Am (Kairo: Maktab al-Nahdhah al-Misriah, t.th)
Hitti, Phillip K, History of The Arabs (Dunia Arab Sejarah Ringkas, alihbahasa oleh Ushuluddin H dan Sihombing), (Cet. I; Bandung: Sanur Press, t.th)
Hassan, Hasan Ibrahim, Islamic History and Culture, From 632-1968 M (Sejarah dan Kebudayaan Islam), alihbahasa oleh Djahdan Humam (Cet. I; Yogyakarta: Kota Kembang 1989)
Katsir, Ibnu, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz. V (Cet. I: Beirut: Dar al-Fikr, 1996)