Di antara ciri-ciri pendidikan Islam yang paling menonjol adalah karakternya yang bercorak spritualis dan etis. Karakter universalnya yang meliputi segala aspek kepribadian pelajar dan semua aspek development pada tata kehidupan sosial, keseimbangan karakter dan kesederhanaan pada pribadi pelajar dan kehidupan sosial, karakter kejelasan dan tidak ditemukannya pertentangan pada unsur-unsur dan cara-cara pelaksanaannya, karakter realistis dan dapat diaktualisasikan, karakter dinamis dan mampu menciptakan perubahan yang berarti pada kehidupan pribadi dan masyarakat.

Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam

Karakteristik khusus pendidikan Islam mengandung sejumlah prinsip yang dalam konteks makna relevan dengan tujuan akhir pendidikan Islam. Prinsip ini ditegakkan atas dasar yang sama dan berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Prinsip-prinsip ini merupakan sebuah kebenaran bersifat universal dan komprehensif, yang dijadikan sebagai paradigma dalam merumuskan perangkat pendidikan Islam.

Di antara prinsip-prinsip yang ideal dalam pendidikan Islam menurut al-Abrasy adalah: mengajarkan berpikir bebas dan kemandirian dalam belajar, demokratis dalam learning process, sistem belajar, individu-individu, atensi terhadap bakat dan minat siswa, melakukan pengetesan untuk menguji kecakapanya, penyajian materi pelajaran yang dapat dicerna, penciptaan suasana harmonis dan romantis dalam ruangan, penekanan pada pendidikan akhlak, dan memotivasi dilakukannya kajian-kajian ilmiah. 

Al-Syaibany menandaskan bahwa prinsip-prinsip pendidikan Islam meliputi: prinsip universal, keseimbangan dan balance, kejelasan tak ada pertentangan, prinsip realisme dan dapat dilaksanakan, prinsip perubahan yang dikehendaki, prinsip menjaga perbedaan-perbedaan perseorangan, prinsip dinamisme dan menerima perubahan dalam rangka metode-metode keseluruhan yang terdapat dalam agama. 

Ramayulis menambahkan dua prinsip, yaitu prinsip pendidikan Islam merupakan implikasi dari karakteristik manusia menurut Islam dan pendidikan integral.

Dari sejumlah peinsip-prinsip tersebut di atas, akan dipresentasekan dua prinsip pendidikan Islam, yaitu: pertama, prinsip kejelasan dan kedua, prinsip tidak bertentangan. Kedua prinsip ini merupakan jawaban terhadap image yang berkembang di kalangan para orientalist bahwa sistem pendidikan Islam mengandung hal-hal yang tidak jelas dan bertentangan.

1. Prinsip Kejelasan 

Pendidikan Islam adalah pengembangan akal budi manusia dan penataan tingkah laku serta emosinya berdasarkan agama Islam, dengan maksud merealisasikan tujuan Islam di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, pendidikan Islam merupakan suatu proses mempersiapkan akal pikiran manusia dalam melihat alam kehidupan, eksistensi kemakhlukannya di antara makhluk-makhluk lainnya, serta sasaran yang hendak dicapai dalam kehidupannya.

Menyikapi hal tersebut di atas, Alquran dan Hadis sebagai sumber atau dasar utama pendidikan Islam telah mengemukakan konsep-konsep yang indah dan saling berkaitan. Juga menyajikan sistem akidah yaitu hal-hal yang wajib diimani oleh manusia untuk dapat menggerakkan berbagai perasaan dan emosi dalam jiwanya, yang terefleksi pada segenap aktivitas badani manusia, sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentukan syariat, yaitu tingkah laku ibadah vertikal (‘ibadah ‘ub­diyyah) dan ibadah horizontal (menjalin hubungan kekerabatan dengan manusia di luar dirinya).

Konsep-konsep penataan kehdupan umat manusia yang dipaparkan Alquran dan Hadis Nabi merupakan konsep yang jelas dan absah. Di samping itu, keduanya dengan sangat gamblang menjawab segala macam problematika hukum, teologi, krisis jati diri manusia, dan problema akal akibat pesatnya kemajuan IPTEK dan kolonialisasi materalisme. Khusus bagi pendidikan, keduanya menawarkan konsep-konsep yang jelas, baik berupa kurikulum maupun metode mendidik, yang kesemuanya diarahkan pada tujuan pendidikan Islam.

Oleh karena itu, prinsip kejelasan, termasuk di antara prinsip-prinsip dan syarat-syaratnya paling menonjol yang harus terwujud dalam tujuan-tujuannya. Ketegasan tujuan memberi makna dan kekuatan terhadap pendorong untuk bertolak ke arah yang jelas untuk mencapai tujuan dan menghalangi timbulnya perselisihan dalam interpretasi. Alquran memberikan inspirasi dan memotivasi manusia untuk melibatkan diri dalam kerja dan upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Kata al-‘ilm beserta kata jadiannya terulang sebanyak 780 kali dalam Alquran, sebagai bukti autentik mengenai apresiasi Alquran terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

Bagi umat Islam, hal ini menjadi dasar teologis yang sangat kuat, yang tidak ada alasan untuk tidak melibatkan diri secara kritis dalam kreatif dalam kerja ilmu pengetahuan. Apalagi kalau dikaji lebih mendalam, Alquran telah memberikan kerangka aksiologis tentang arah pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga tetap berjalan dalam kemaslahatan umat manusia. Dalam pandangan Alquran, kerja ilmu pengetahuan bukanlah sekedar dimaksudkan untuk membaca ciptaan Allah secara deskriptif dan naratif. Lebih dari itu, ilmu pengetahuan harus dilihat secara teologis, etis, dan moral untuk membangun hubungan yang lebih dekat antara manusia dengan Allah.

Isyarat di atas dikuatkan dengan makna hakiki yang terkandung dalam berbagai yang bersinonim, seperti دبر  (merenungkan), فقه  (mengerti), نظر  (melihat secara abstrak), فكر (berpikir), dan عقل  (akal). Kata-kata ini, kalau disimak pengertiannya, menginstruksikan kepada segenap manusia (terutama umat Islam) untuk berkontemplasi dan berkreasi. Kata-kata tersebut berhubungan erat dengan kata ayat (fenomena-fenomena). 

Di samping itu, masih banyak ayat-ayat lain yang secara jelas mengungkapkan substansi dan signifikansi eksistensi ilmu pengetahuan dalam kehidupan jasmani dan spritual manusia. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dalam Islam, sebagaimana yang terkandung dalam Alquran, pada tataran metafisis-filosofis, sangat kaya akan pertimbangan teologis, spritual, etis, dan moral. Demikian pula, kaya akan pertanyaan-pertanyaan normatif yang perlu diformulasi lebih lanjut menjadi teori-teori empirik dan rasional.

Kebenaran ilmu dan sifat ilmiahnya adalah kebenaran yang ditunjang oleh faktor-faktor non-material yang diukur dengan sistem nilai: benar-salah, halal-haram, baik-buruk, adil-lalim, dan manfaat-mudarat. Alquran sebagai sumber pendidikan Islam, telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada manusia untuk mengetahui perbedaan pada alat ukur tersebut. Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah. Ilmu itu kemudian dianugerahkan kepada manusia, agar ia dapat mempertanggungjawabkan eksistensi dan substansi kekhalifahannya; melaksanakan kewajibannya. Dalam upaya pertanggungan jawab dan pelaksanaan kewajiban, manusia berada dalam proses pendidikan yang kontinu melalui pendekatan transdisipliner dan interdisipliner.

Hadis sebagai sumber kedua pendidikan Islam, juga memiliki kejelasan arah dan makna. Dalam persoalan ilmu pengetahuan, hadis menjelaskan perlunya umat Islam memiliki ilmu pengetahuan:
(طالب العلم طالب الرحمة, طالب العلم ركن الإسلام ويعطي أجره مع النبيين (رواه الديلمي عن ابن عمرArtinya:Penuntut ilmu adalah penuntut rahmat. Menuntut ilmu adalah rukun Islam dan akan diberi pahala bersama Nabi (HR al-Dailamiy dari ‘Umar).
Hadis di atas menjadi penguat atas kejelasan Alquran yang membicarakan tentang ilmu pengetahuan dan upaya pengembangannya. Selain pembahasan mengenai ilmu pengetahuan, Alquran dan Hadis juga memaparkan banyak hal dengan jelas, di antaranya: hukum, akidah, etika hidup, dan jawaban terhadap problema-problema internal dan eksternal yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya. Dari kejelasan ini, pendidikan Islam menciptakan kurikulum dan metode-metode yang jelas. Prinsip kejelasan pendidikan Islam ini terefleksi dalam tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian, realitas pengajaran akan tetap berada dalam koridor-koridor ilahiah, yang tidak akan ditemukan perselisihan interpretasi padanya.

2. Prinsip TIdak Bertentangan 

Prinsip tidak bertentangan ini dimaksudkan adalah pendidikan Islam haruslah selaras dan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan tidak terjadi adanya perselisihan dalam prinsip-prinsipnya. Secara mikro, sistem pendidikan Islam mengacu kepada proses pembinaan rohani, intelektual, dan jasmani. Ketiganya juga sekaligus sebagai sasaran utama pelaksanaan pendidikan Islam yaitu pembentukan iman yang kuat, ilmu yang luas, dan kemampuan beramal saleh.

Islam memandang manusia secara totalitas dan mendekatinya atas dasar fitrah yang dianugerahkan oleh Allah pada apa yang terdapat dalam dirinya. Islam tidak membebankan sesuatu, yang oleh manusia tidak sanggup memikulnya. Islam juga tidak memaksakan sesuatu, baik berupa perintah ibadah ‘ub­diyyah maupun ibadah sosial. Islam membebankan sesuatu kepada manusia sesuai dengan kekuatan potensi yang dimilikinya. Potensi yang dimaksud, mencakup kawasan yang meliputi pengertian rasa, pengembangan daya pikir, dan kemampuan mengaktualisasikannya.

Dalam QS al-Baqarah (2): 256 ditegaskan bahwa “tidak ada paksaan dalam agama”. Maksudnya, Islam tidak membolehkan melalui jalan paksaan untuk sampai kepada iman dan hidayah Allah, atau mengikuti jalan kekerasan dalam mengajak kepada kebenaran. Karenanya, dari segi logika Islam tidak membolehkan pengembangan perasaan seni pada pelajar melalui musik yang cabul, nyanyian yang tak beraturan, dan gambar-gambar yang porno. Metodologi Islam dalam melakukan pendidikan adalah melalui pendekatan secara menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal atau yang terabaikan sedikit pun, baik dari segi jasmani dan rohani, kehidupan secara fisik dan spritual, maupun segala aktivitasnya di muka bumi.

Mochtar Bukhari menyebutkan bahwa, paling tidak, ada 3 ayat dalam Alquran yang secara khusus mengenai keharusan-keharusan manusia terhadap dirinya sendiri, 10 ayat yang memuat perintah khusus mengenai kewajiban manusia terhadap lingkungan fisiknya, dan 18 ayat yang memuat perintah perintah khusus mengenai kewajiban manusia terhadap lingkungan sosialnya. Dalam upaya mengaktualisasikan kewajiban-kewajibannya sebagai manusia, Islam menawarkan sebuah konsep pendidikan yang handal dan berkualitas tinggi. Dalam konsep pendidikan yang dimaksud tidak ditemukan adanya pertentangan.

Ada image yang berkembang di kalangan orientalist bahwa Islam mendikhotomikan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Jika diteliti dan dihayati lebih jauh dua sumber pendidikan Islam (Alquran dan Hadis Nabi), akan ditemukan bahwa Islam sama sekali tidak membedakan antara keduanya. Islam menyeru umat Islam menuntut ilmu pengetahuan tanpa adanya pengklassifikasian, atau dengan kata lain, semua ilmu wajib dituntut dan dkuasai. Hanya saja nilai-nilai ilahiah ang terkandung dalam ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan pada ritus-ritus seremoni agama, perlu direalitaskan secara aktual dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari.

Adapun mengenai klassifikasi ilmu pengetahuan, pada filosof muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan al-Ghazali, membenarkan adanya hal tersebut. Namun, klassifikasi itu bukanlah indikator adanya pertentangan dalam pendidikan Islam. Klassifikasi hanyalah suatu usaha untuk menyederhanakan kerumitan pokok bahasan tiap-tiap disiplin ilmu.

Dalam mukaddimah rekomendasi Konferensi Dunia I tentang Pendidikan Islam, dicantumkan dua klassifikasi ilmu pengetahuan, yaitu: Pertama, ilmu abadi (parennial knowledge), yaitu pengetahuan yang berdasar pada wahyu ilahi, sebagaimana yang tertera dalam Alquran dan Hadis Nabi. Kedua, ilmu non-abadi, yaitu ilmu-ilmu kealaman dan terapan yang berkembang secara kuantitatif. Klasifikasi ini bertujuan mengembalikan ilmu pengetahuan ke sumber aslinya (wahyu Allah) dan sumber historisnya (peradaban umat Islam). Jadi, sama sekali tidak menunjukkan adanya pertentangan, apalagi konflik. Dengan kata lain, Islam membenarkan adanya klassifikasi pada ilmu pengetahuan, namun tidak membenarkan adanya dikhotomi.

Islam mengandung seperangkat ketentuan yang berisi perintah, larangan, anjuran, keterangan, perumpamaan, berita gembira dan duka, sejarah, tanda, simbol, etika sosial, etika vertikal, serta konsep tertentu. Ketentuan-ketentuan ini, jika diamati secara sepintas, maka akan ditemukan adanya konflik internal. Apalagi jika dilihat dari keanekaragaman interpretasi terhadap konsep-konsep ilahiah pada dua sumber utama pendidikan Islam (Alquran dan Hadis Nabi), seperti perbedaan pendapat dalam masalah teologi dan fikih). Keanekaragaman interpretasi dan kebenarannya masing-masing, bukan menunjukkan adanya konflik atau pertentangan dalam Islam, melainkan sebuah bukti bahwa Islam adalah sebuah kebenaran mutlak yang bersifat universal. Semakin plural interpretasi terhadap kedua sumber pendidikan Islam, maka semakin tampak kebenaran padanya. Adalah suatu hal yang imposible, jika terdapat pertentangan atau tumpang tindih pada kedua sumber utama pendidikan Islam, karena keduanya berasal dari Allah, Tuhan semesta alam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasy, Muhammad Athiyah. Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Bustami A. Ghani dengan judul Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1990.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 2000. 
Azra, Azyumardi. Esei-esei  Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 37.
Daradjat, Zakiah, et al. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. IV; Bumi Aksara, 2000.
Feisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarata: Gema Insani Press, 1995.

Post a Comment

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak