A. Pengertian Kebenaran 

Kata “kebenaran” berasal dari kata “benar” yang memperoleh awalan ked an akhiran an yang berarti cocok dengan keadaan sesungguhnya, tidak bohong, atau sah. Dan kata kebenaran itu sendiri berarti keadaan (hal tersebut) yang benar (cocok dengan atau keadaan yang sesungguhnya).
Sidi Gazalba memberi pengertian ‘kebenaran’ dengan mengemukakan lawan katanya, karena itu menjadi jelas, manakala itu dihadapkan pada lawan dan kita  susulkan artinya.
Mudhar Ahmad mengatakan bahwa kata “benar” menyatakan kualitas keadaan atau sifat sebenarnya sesuatu. Semua itu bisa berupa pengetahuan (pemikiran) atau pengalaman (perbuatan).

Secara terminologi, kebenaran mempunyai  arti yang bermacam-macam, seperti halnya arti etimologi. Pengertian kebenaran secara terminologi berkembang dalam sejarah filsafat. Dalam aliran filsafat masing-masing aliran mempunyai pandangan yang berbeda tentang kebenaran, hal ini tergantung dari sudut mana mereka memandang. 


Secara garis besarnya, pengertian kebenaran menurut paham-paham tersebut antara lain:

a. Paham idealisme

Memberikan pengertian bahwa ‘kebenaran’ adalah merupakan soal yang hanya mengenai seseorang yang bersangutan. Kebenaran itu hanya ide, materi itu hanya ide, hanya dalam tanggapan. Demikian dikatakan Goerge Berkeley (1685-1757).

b. Paham realisme

Berpendapat bahwa ‘kebenaran’ adalah kesesuaiaan antara pengetahuan dan kentaan. Karena pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata, gambaran yang ada dalam akal adalah salinan dari yang asli yang terdapat di luar akal. Aliran ini dipelopori oleh Herbert Spencer (1820-1903).

c.  Kaum pragmatis

Memberikan definisi ‘kebenaran’ sebagai sesuatu proporsi itu berlaku atau memuaskan. Peletak dasar paham ini adalah C.S.Peiree (1839-1914) William James menambahkannya behwa kebenaran harus merupakan nilai dari suatu ide.

d.  Faham penomenologi

Berpendapat bahwa ‘kebenaran’ itu adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan wujud atau akibat yang menggejala sebagai sifat nyata yang merupakan norma kebenaran. Mereka menganggap bahwa fenomena itu adalah data dalam kesadaran dan inilah yang harus diselidiki, supaya hakikatnya ditemukan dan tertangkap oleh kita.


Dari defenisi-defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka maksud dengan kebenaran adalah segala yang bersumber dari akal (rasio), pengalaman serta kegunaan yang dapat dibuktikan dengan realita yang ada. Dengan kata lain sebagai kebenaran ilmiah. Tapi ada kebenaran yang tak perlu dibuktikan  atau dicari pembutiannya, cukup kita terima dan yakin bahwa itu adalah suatu kebenaran.

B. Teori-teori Kebenaran

Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran telah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode diatog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan sampai kini.


Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunyai nilai kebenaran atau tidak. Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagairnana cara memperoleh pengetahuan? Apakah hanya kegiatan dan kemampuan akal pikiran ataukah melalui kegiatan indera?  Yang jelas seorang skeptis pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan atau keraguan itulah yang merupakan kebenaran.


Secara tradisional teori-teori kebenaran itu antara lain:

1. Teori saling berhubungan 

Teori ini dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Katsoff (1986) suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi yang lain, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.

Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. dalam hal ini kita tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu melainkan kita hanya dapat membuktikan melalui hubungan dengan proposisi yang terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah atrau peninggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.

2. Teori saling berkesesuaian 

Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua yang berangkat dari pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang kita ketahui adalah suatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subyek. Teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi itu bernilai benar apabila proposisi itu saling berkesusaian dengan dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan.

3. Teori inherensi 

Kadang-kadang teori ini disebut iuga sebagai teori pragmatis. Pandangannya adalah suatu proposisi itu bernlai benar apabila mempunyai konsekwensi-konsekweansi yang dapat dipergunakaan atau bermanfaat.

4. Teori berdasarkan arti 

Yaitu bahwa proposisi itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab ltu teori ini mempunyai tugas untuk menguatkan kesyahan dari proposisi dalam referensinya. Teori kebenaran semantic dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertand Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika. Proposisi dinilai benar jika mengandung arti.

5. Teori sintaksis

Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tatabahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan mengandung nilai benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku.

6. Teori non-deskripsi

Teori kebenaran non diskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.  Karena pada dasarnya suatu statemen atau pemyataan itu akan mempunyai nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi daripada pernyataan itu .

7. Teori logik yang berlebihan

Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistic yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logick yang masing-masing saling melingkupinya.

C. Tingkat-Tingkat Kebenaran

Kebenaran yang dicari manusia dapat dicapai dengan berbagai cara. Di antara sekian banyak sumber, rasio dan pengalaman inderawi merupakan sumber utama sekaligus ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sumber lain seperti yang dikatakan oleh Ansar Bahtiar adalah iluminasi atau intuisi. 


Selain itu, agama dan dogma termasuk sumber kebenaran. Karena keaneka ragaman sumber tersebut, maka kebenaran itu terbagi atas beberapa macam tingkatan, tergantung dari segi mana orang berpijak untuk membaginya:

a.  Kebenaran dipandang dari segi perantara

Untuk mendapatkannya, kebenaran terbagi atas:
  • Kebenaran inderawi (empiris) yang ditemui dalam pengamatan dan pengalaman.
  • Kebenaran ilmiah ( rasional) yang diperoleh lewat konsepsi akal.
  • Kebenaran filosofis, yang dicapai melalui perenungan murni.
  • Kebenaran religious, yang diterima melai wahyu Ilahi.

b. Kebenaran dilihat dari segi kekuasaan 

Untuk menekan orang menerimanya, kebenaran terbagi dua:
  1. Kebenaran subyektif, yang diterima oleh subyek pengamat sendiri sesuai dengan angggapan moral si subyek.
  2. Kebenaran obyektif, yang diakui tidak hanya oleh subyek pengamat, tetapi juga oleh subyek-subyek lainnya, sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir. Tiap orang menganggap pengetahuannya benar, apakah kita mengetahui kebenarannya atau tidak, tergantung pada pembuktian. Bukti adalah tanda kebenaran manakala pengetahuan itu sesuai subyek yang diketahui, maka ia adalah kebenaran obyektif.

c. Kebenaran dari segi kualitas

Kebenaran bertolak seberapa jauh keselasaran tanggapan subyek dengan kenyataan obyek. Menurut Karl R. Popper, tinggi rendahnya kebenaran itu adalah gagasan tentang tingkat korespandensinya yang lebih baik atau lebih buruk terhadap kebenaran atau ide tentang keserupaan yang lebih besar terhadap kebenaran. Misalnya pemikiran akan jawaban soal tergantung pada pemahaman atau tanggapan subyek (peserta ujian) mengenai soal tersebut. Yang akhirnya hasil ujian ini beraneka ragam ada yang tinggi dan ada yang rendah. 


Lebih jelasnya, kualitas kebenaran itu ada 3 yaitu:

1. Kebenaran mutlak( (absolut)

Yakni kebenaran yang sebenar-benarnya, kebenaran sejati, sempurna atau hakiki.

2. Kebenaran nisbi (relatif)

Yang masih beragam sifatnya, belum utuh, dan masih mengandung kesaiahan dan yang berlaku pada masa tertentu.

3. Kebenaran dasar 

Kebenaran yang tidak dapat dipersalahkan dan masih perlu penegasan.

Pada dasarnya filsafat dan ilmu bertujuan ingin mencapai kebenaran mutlak namun sepanjang sejarah perkembangan manusia hanya mampu mencapai kebenaran relatif dan spekulatif. Kenyataan dengan mengingat kita akan keterbatasan manusia. Selama manusia hanya mengandalkan dirinya sendiri, dia tidak akan mampu mencapainya tanpa dukungan dari luar diri manusia, yakni wahyu. Kebenaran spekulatif dan relatif ini, suatu saat akan ditinggalkan manusia, pada saat ditemukan teori baru yang lebih benar .

D. Kriteria Kebenaran

Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama, oleh karena itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan


Suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai criteria kebenaran masing-masing. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu:
  • Bepikir secara luas dapat pula disebut logika. Dalam hal ini, tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Dengan kata lain, bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis yang diartikan sebagai suatu pola logika tertentu.
  • Analitik. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang logis dan ilmiah.
  • Non analitik. Cara berpikir ini tidak rnenyandarkan pada suatu pola pikir tertentu.
  • Dogmatis. ini adalah manifestasi dari keyakinan terhadap suatu agama dan diyakini kebenarannya.

Kebenaran pengetahuan dalam pandangan Sains jelas berbeda dengan kebenaran pengetahuan menurut filsafat dan Agama. Masing-masing memilki kriteria tersendiri. Sains berobyek empiris berparadigma positivistis bernntode sains dan berukuran logis dan bukti empiris. Filsafat berobyek abstrak logis, berparadigma logis, bermetode rasio dan berukuran logis sementara Agama berobyeak abstrak supralogis atau metarasional, berparadigma mistis bermetode latihan mistik atau riyadlah berukuran rasa yakin, kadang-kadang empiris.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mudhar. Manusia dan Kebenaran Masalah Pokok Filsafat. Surabaya :Usaha Nasional, t.th.
Anshari, Endang Saifuddin  Al-Quran. Filsafat dan Agama.C et.V lll; Surabaya: Bina llmu. 1987.
Anshari, Endang Saifuddin. Kutiah al-lslam.Jakarta: Rajawali,1986.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama Cet. l; Jakarta: Logos,Wacana llmu, 1997.
Departernen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Umum Bahasa lndonesia.Cet.V lll; Jakarta:Balai Pustaka,1984.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat Cet.V ; Jakarta:B ulan Bintang,1991.