A. Pengertian Nuzul al-Qur’an

Nuzul al-Qur’an terdiri dari dua kata yaitu Nuzul dan al-Qur’an. Menurut bahasa,  kata Nuzul dalam kamus lisan al-Arab berarti (al-hulul) berdiam atau tinggal. Sedangkan menurut Az-Zarqani, penggunaan Nuzul itu sendiri mengandung dua pengertian. Pertama berarti: tinggal disuatu tempat dan berdiam atau beristirahat ditempat itu. Kedua berarti: turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah.

Sedangkan makna al-Qur’an secara bahasa banyak diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan Musytaq dan ada yang mengatakan Jamid. Akan tetapi, secara sederhana apabila kita buka dalam kamus Arab al-Munawwir misalnya, kata  tersebut berarti bacaan karena makna tersebut diambil dari makna Qiraatun atau Qur’an , yaitu bentuk masdar dari Qara’a.

Rangkaian dua kata tersebut yang terdiri dari susunan idhofah memberikan pemahaman bahwa yang dimaksudkannya adalah turunnya al-Qur’an sendiri. Akan tetapi kata sebahagian ulama khalaf: kebanyakan orang telah menafsirkan Nuzul pada beberapa tempat dalam al-Qur’an bukan dengan maknanya yang terkenal, lantaran kesamaran yang terjadi bagi mereka ditempat-tempat itu, lalu menjadilah tafsiran mereka hujjah bagi orang yang menafsirkan Nuzul al-Qur’an itu dengan tafsir mutakallimin. Diantara mereka ada yang mengatakan, bahwa yang dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an ialah melahirkan dari tempat yang tertinggi, kemudian malaikat Jibril menurunkannya dari tempat tersebut, dan diantara mereka ada yang berkata, yang dikehendaki dengan menurunkan al-Qur’an ialah memberitahu kepada malaikat, sehingga mereka paham, kemudian mereka membawa turun apa yang telah mereka pahamkan itu.

Untuk menolak keraguan, Hasbi Ash Shiddiqy memberikan pernyataan bahwa hakikat keadaan turun yang terdapat dalam kitab Allah ada tiga macam:
  1. Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari Allah.
  2. Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari langit.
  3. Turun yang tidak dikaitkan dengan turunnya dari Allah dan tidak pula dikaitkan dengan turunnya dari langit. Ketiga pernyataan tersebut semuanya bisa kita temui dalam al-Qur’an.
  •  Pertama, firman Allah dalam surah Al-An’am, ayat 114 yang berbunyi:
أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Artinya:
“Bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenar-benarnya,  maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu”.
  • Kedua, firman Allah dalam surah Al-Hijr, ayat 22 yang berbunyi :
فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَسْقَيْنَا كُمُوْهُ وَمَآ اَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِيْنَ
Artinya:
“Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
Ketiga, firman Allah dalam surah Al-Fath, ayat 4 yang berbunyi:

هُوَالَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ  فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْا إِيْمَا نًامَّعَ إِيْمَا نِهِمْ

Artinya:
“Dialah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada).
Diantara ketiga ayat yang dikutip diatas, ketika kita memperbincangkan masalah makna Nuzul dalam kaitannya dengan Nuzul al-Qur’an, menurut hemat penulis ayat yang pertamalah yang paling mendekati kebenaran, karena memang pada kenyataannya al-Qur’an itu diturunkan dari Allah merupakan kalam Allah yang tidak bisa diganggu gugat, bukan kalam orang lain. Dan tidaklah kita katakan bahwa al-Qur’an itu ‘ibarah dari kalamnya, dan apabila dibaca oleh seorang pembaca, tidaklah dikatakan kalam pembaca itu sendiri, karena kalam itu disandarkan kepada orang yang mengatakannya pada permulaan, bukan kepada orang yang menyampaikannya. Adapun cara Allah menurunkannya  akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

Kemudian pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah kalau al-Qur’an itu diturunkan, terus apanyakah yang diturunkan? Apakah lafadznya ataukah maknanya? Karena hal ini mengundang perdebatan dikalangan ulama, diantaranya ada yang berpendapat bahwa:
  1. Pendapat pertama, menetapkan bahwa yang diturunkan itu lafadz dan makna. Jibril menghafal al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz kemudian menurunkannya.
  2. Pendapat kedua, menetapkan bahwa Jibril menurunkan maknanya saja. Rasul memahami makna-makna itu, lalu beliau menta’birkan dengan bahasa Arab.
  3. Pendapat ketiga, menetapkan bahwa Jibril menerima lalu Jibril mentakbirkannya dengan bahasa Arab. Dan ada paham bahwa isi langit membaca al-Qur’an itu dengan bahasa Arab. Lafadz Jibril itulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w.
Ketiga pendapat tersebut kalau kita tengok dalam al-Qur’an sebenarnya sudah dijelaskan. Hal ini juga terkait dengan al-Qur’an apakah ia sebagai lafadz atau makna. Diantaranya firman Allah sebagai berikut:
بَلْ هُوَ قُرْءَانُ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ
Artinya :
“Tetapi dia (sebenarnya) Qur’an yang mulia (termaktub) di Lauh al-Mahfudz”.
(Q.S. al-Buruj:21-22)
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ                         
Artinya:
“Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia”.
(Q.S. al-Haqqah:40).
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الأَمِيْنُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ
Artinya:
”Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan. (Q.S. Asy-Syu’ara:193-194).
Ayat pertama dipahami oleh sebagian ulama bahwa al-Qur’an itu dinisbahkan kepada Allah. Allah menjadikannya di Lauh al-Mahfudz, sementara ayat kedua dipahami oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an adalah lafadz Jibril, sementara ayat ketiga dipahami juga oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Qur’an itu adalah lafadz Rasul sendiri. Kalau demikian, tentulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w. adalah makna al-Qur’an, lalu Nabi menyebutnya dengan memakai lafadz Nabi sendiri.

Para muhaddits berpendapat bahwa, pendapat yang terdekat kepada kebenaran dan keagungan al-Qur’an, ialah pendapat yang pertama. Itulah yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan kedudukan al-Qur’an sebagai kalamullah dan sebagai suatu mukjizat.
Al-Juwainy berkata: kalamullah itu (yang diturunkan) terbagi dua yaitu:

  1. Pertama, bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: katakanlah kepada Nabi yang engkau diutus kepadanya, bahwa Allah SWT, berkata begini, atau menyuruh mengerjakan begini, atau memerintahkan begini. Jibril memahami apa yang difirmankan oleh Allah s.w.t., kemudian ia membawa turun kepada Nabi dan lalu menyampaikannya apa yang difirmankan Allah s.w.t. kepadanya. Akan tetapi, bukan dengan ibarat yang didengar oleh Allah s.w.t., yakni yang disampaikan itu hanya maknanya saja.
  2. Kedua, bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: Bacalah kepada Nabi kitab ini, maka Jibril turun membawa yang disuruh baca itu dengan tidak mengubah lafadz. Hal ini serupa dengan utusan yang diserahkan kepadanya suatu surat dan diperintahkan ia membaca surat itu kepada orang yang dimaksudkan, maka yang membawa surat dan yang membacanya, tentulah membacanya persis sebagai isi surat sendiri, sedikitpun tidak berubah.
Al-Ashfahani mengatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa Ahlu Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa kalamullah itu diturunkan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengartikan inzal (turunnya) al-Qur’an. Sebahagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalam-Nya kepada Jibril, dengan mengajarkan bacaan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di bumi, yang sudah barang tentu ia turun ke bumi.

Ringkasnya, bahwa makna diturunkannya al-Qur’an ialah, diturunkannya dari alam gaib kedalam alam syahadah dengan jalan menzahirkan rupanya yang bersifat alam kepada para utusan-utusan (para malaikat yang dijadikan utusan), atau dengan jalan dilahirkan di Lauh al-Mahfudz, atau dihujamkan dalam jiwa Nabi. Beginilah makna diturunkan al-Qur’an yang dipegang oleh ulama khalaf. Sebagaimana juga diterangkan oleh pengarang al-Kulliyat, bahwa makna diturunkan al-Qur’an, bukanlah dia diangkat dari satu tempat kesatu
tempat yang lain melainkan hanya maknanya saja, Jibril menurunkan apa yang ia pahami dari kalamullah di atas langit tujuh lalu turun untuk mengajarkan yang demikian kepada para Nabi di atas bumi.

B. Fungsi Nuzul al-Qur’an

Ada beberapa fungsi al-Qur’an itu diturunkan Allah yang fungsi-fungsinya itu sangat berguna bagi manusia sebagai khalifah dibumi ini antara lain adalah:
  • Allah menurunkan al-Qur’an kepada nabi Muhammad sebagai petunjuk bagi ummat manusia sebagaimana firman-Nya dalam surah al-baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَا نَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
  • Al-Qur’an sebagai pembawa berita yang sangat menakjubkan bagi penghuni bumi dan langit.
  • Menjadi penawar atau obat penenang jiwa yang gelisah sebagaimana firman-Nya:
وَنُنَزِّلُ مِنَالْقُرْءَانِ مَا هُوَشِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ

C. Proses Nuzul al-Qur’an

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa nash mengenai kalam Allah kepada para malaikat-Nya. Nash-nash tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadits dari Nawas bin Sam’an r.a. yang mengatakan: Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: “Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun bergetar dengan getaran yang dahsyat karena takut kepada Allah s.w.t. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka diantara mereka itu adalah Jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali ia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu: apakah yang telah dikatakan kepada tuhan kita wahai Jibril? Jibril menjawab : Dia mengatakan yang hak dan Dialah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar. Para malaikat pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril, alu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti yang diperintahkan Allah s.w.t.”

Olehnya itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
  1. Bahwa Jibril menerimanya dengan cara mendengar dari Allah dengan    lafalnya yang khusus.
  2. Bahwa Jibril menghafalnya dari Lauh al-Mahfudz.
  3. Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad s.a.w.
Menurut pandangan al-Qattan, kalau dilihat dari ketiga pendapat tersebut, maka pendapat pertamalah yang benar, karena diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Nawas bin Sama’an diatas, dan pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dalam hal ini az-Zarqani memberikan pandangan bahwa : Allah memberikan pemahaman kepada Jibril mengenai kalam-Nya pada saat berada dilangit, namun Dia tidak berada disuatu tempat, Allah mengajarinya cara membaca, kemudian Jibril menyampaikannya ke bumi, dan dia turun pada suatu tempat.
Sedangkan al-Ghazali mengatakan : Jibril menghafalkan al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz dan membawanya turun, sebagian diantara mereka menyebutkan bahwa masing-masing huruf al-Qur’an dalam Lauh al-Mahfudz seukuran gunung Qaf, dan bahwa dibalik setiap huruf terdapat makna-makna yang hanya diketahui oleh Allah s.w.t., dan huruf-huruf itulah merupakan pembungkus makna-makna al-Qur’an.

D. Cara Al Qur'an Ditunkan Kepada Nabi Muhammad saw

Secara garis besar, cara wahyu Allah (al-Qur’an) turun kepada Nabi, ada yang melalui perantara dan ada pula tanpa melalui perantara, sebagaimana yang dijelaskan al-Qattan dalam bukunya “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an”. Turunnya wahyu dengan melalui perantara sebagimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Menurut al-Qattan ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat Jibril kepada Nabi yaitu:
  • Cara Pertama: Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat buat Rasulullah s.a.w. dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal, dan memahaminya. Suara itu mungkin suara kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadits: 
إِذَا قَضَى اللَّهُ لأَمْرفِى السَّمآءِ ضَرَبَتِ الْمَلاَءِكَةِ بِأَجْنِحَتِهاَ خضعاناً لِقَوْلِهِ كَا لْسلسلة عَلَى صِفْوَانِ.                                 َ
Artinya:
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai diatas batu-batu yang licin”.
  • Cara kedua: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu, lebih ringan daripada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Rasul s.a.w. merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena merasa seperti manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniaannya, dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki, tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama, tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng, tidak menyenangkan karena keadaan yang demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohaniaan malaikat, dan inilah yang paling berat.
Pertanyaannya ialah bagaimana komunikasi ini dapat terjadi, padahal terdapat perbedaan watak karena perbedaan tingkat eksistensi? Jawabannya bahwa ada perubahan yang terjadi pada salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi sehingga komunikasi dengan pihak lain dapat dimungkinkan. Salah satunya, Rasulullah berubah dari status kemanusiaannya dan masuk kedalam status kemalaikatan, kemudian menerima wahyu dari Jibril. Kedua, malaikat mengubah diri masuk ke status kemanusiaan sehingga Rasulullah dapat menerima wahyu dari Jibril. Yang pertama merupakan situasi yang paling berat.

Kata Ibnu Khaldun: “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya, malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani. Kemudian Ibnu Khaldun membedakan kedua situasi ini dan mengaitkan masing-masing dari dua situasi tersebut dengan kode yang dipergunakan dalam komunikasi. Situasi pewahyuan memerlukan kesiapan khusus yang dalam konteks para nabi merupakan kesiapan fitri yang berasal dari seleksi Ilahiyah terhadap manusia. Dengan kesiapan ini, nabi yang juga manusia dapat mentransformasikan diri dari kemanusiaannya menjadi malaikat sehingga, ia dapat menerima wahyu dari malaikat.
Setelah mereka (para nabi) bergerak dalam tahapan tersebut, melepaskan diri dari kemanusiaan dan menerima di alam malaikat langit, yang mereka terima (wahyu) dan membawa wahyu itu menurungi tangga-tangga kemampuan persepsi kemanusiaan, untuk disampaikan kepada manusia. Kadang-kadang terjadi semacam suara gemuruh yang didengar nabi. Suara tersebut seperti kata-kata yang tidak jelas. Dari kata-kata itu, ia mengambil ide(pesan) yang disampaikan kepadanya. Suara dengungan itu tidak akan melenyapkan ide tersebut yang diterima dan dipahaminya itu. Kadang-kadang malaikat yang menyampaikan wahyu itu muncul dalam rupa seorang laki-laki, kemudian berbicara kepadanya dan ia memahami (menangkap) apa yang dikatakan kepadanya. Belajar dari malaikat dan kembali ke tingkat persepsi kemanusiaan serta menangkap apa yang disampaikan kepadanya, semuanya seolah-olah terjadi dalam sekejap saja, bahkan lebih cepat daripada kelipan mata. Peristiwa itu tidak berada dalam dimensi waktu. Bahkan seluruhnya terjadi secara simultan dan sedemikian cepat. Oleh karena itu, disebut wahyu karena wahyu menurut bahasa adalah mempercepat.

Kedua cara penyampaian wahyu( al-Qur’an) dari malaikat ke Nabi s.a.w. itu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. mengenai hal itu, Nabi menjawab:
         
أَحْيَانَا يَأْتِيْنِيْ مِثْلَ صَلْصَلَةالْجَرَس،وَهُوَأَشَدُّعَلَيَّ فَيَفْصم عَنِّىوَقَدْوَعَيْتُ عَنْهُ مَاقَال وَاَحْيَانَايَتمثَل
 لِيَ الْمُلْكُ رَجُلاًفَيَتَكَلَّمُنِىْفَأعى مَايَقُوْلُ.َ    
Artinya:
“Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku pun memahami apa yang dia katakan”.

Al-Khattabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan suara gemerincing lonceng ialah, suara riuh/bising kedengarannya, sehingga keadaan yang demikian itu menegangkan beliau. Setelah itu barulah beliau dapat memahaminya.

Kemudian turunnya wahyu tanpa melalui perantara, ada kalanya melalui dengan mimpi yang benar, dan ada kalanya melalui dari balik tabir. Peristiwa mimpi yang benar yang dialami Nabi telah dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. yang berbunyi:
 عَنْ عَاءِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:أَوَّلُ مَابَدَئَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّأْيَاالصَّالِحَةَ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لاَ يَرَى رَؤْيَا إِلاَّ جاَءَتْ مِثْلَ فَلَقَ الصُّبْحِ.

Artinya:
“Dari Aisyah r.a. dia berkata : Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada diri Rasulullah s.a.w. adalah mimpi yang shalih didalam tidurnya tidak melihat mimpi itu kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari”.
Hal ini merupakan persiapan bagi Rasulullah untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, dan tidak tidur. Kemudian peristiwa yang dapat diambil contoh turunnya wahyu dari balik tabir, seperti yang dialami nabi s.a.w. ketika beliau menerima perintah shalat pada peristiwa isra’ dan mi’raj. Demikianlah pendapat ulama yang paling sah.

Secara singkat proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. telah dijelaskan dalam al-Qur’an:

وَمَاكَانَ لِبَشَرٍأَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّوَحْياًأَوْمِنْ وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْيُرْسِلَ رَسُوْلاً فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَآءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ.
Artinya:
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”.
 (Q.S. Asy-Syuara:51).

As-Shobuni dalam kitabnya “al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an” membagi dua tahap turunnya al-Qur’an yaitu:
  1. Dari Lauh al-Mahfudz ke sama’ (langit) dunia secara sekaligus pada malam lailatul qadar.
  2. Dari sama’ dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun.
Penurunan pertama, dimaksudkan pada malam mubarakah yaitu malam lailatul qadar diturunkanlah al-Qur’an secara sempurna ke Baitul Izzah di langit pertama, alasan yang demikian adalah didasarkan dari nash sebagai berikut:
  • Firman Allah s.w.t. :
حم وَالْكِتَابِ المُبِيْنِ إِنَّآ أَنْزَلْنَهُ فِي لَيْلَةِالْقَدْ رِوَمَآأَدْرَاكَ مَالَيْلَةُالْقَدْ رِ.
Artinya:
“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Q.S. al-Dukhan:1-3).
Firman Allah s.w.t.:
إِنَّآأَنْزَلْنَهُ فِيْ لَيْلَةِالْقَدْ رِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُالْقَدْرِ.
ِArtinya:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan (al-Qur’an) pada malam kemuliaan, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?(Q.S. al-Qadr:1-2)
  • Firman Allah s.w.t.:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ.
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang hak dan yang bathil). (Q.S. al-Baqarah:185).

Tiga ayat diatas menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada satu malam mubarakah serta dinamai dengan lailatul qadar yaitu salah satu malam pada bulan Ramadhan. Hal ini menyatakan bahwa turunnya al-Qur’an ialah turun tahap pertama keBaitul Izzah dilangit pertama. Sebagai alasannya apabila yang dimaksud dalam penurunan ini adalah penurunan pada tahap kedua yaitu kepada nabi s.a.w. maka tidaklah tepat bila dikatakan satu malam dan satu bulan yaitu bulan ramadhan, karena al-Qur’an diturunkan kepada nabi dalam masa yang lama yaitu selama masa kerasulan 23 tahun serta diturunkan bukan saja pada bulan ramadhan tetapi juga pada bulan lainnya. Dari itu nyatalah bahwa yang dimaksudkan adalah penurunan pada tahap pertama.


Adapun hadits-hadits shahih yang menguatkan analisa diatas adalah sebagai berikut:
  1. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata : al-Qur’an itu dipisahkan dari dzikir lalu   diturunkan ke Baitul Izzah dilangit pertama kemudian disampaikan oleh Jibril kepada nabi s.a.w. (Hadits riwayat Hakim).
  2. Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: al-Qur’an diturunkan sekaligus kelangit pertama (tempat turun secara berangsur ). Dari sinilah Allah menurunkan kepada Rasul-Nya sedikit demi sedikit. (Hadits riwayat ThabranY).
  3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa ia berkata : al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadar di bulan suci Ramadhan kelangit pertama secara sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur.(Hadits riwayat Hakim dan Baihaqy).
Penurunan tahap pertama ini, banyak diperselisihkan oleh para ulama. Setidaknya ada tiga pendapat yaitu:
  1. Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia pada malam al-Qadar sekaligus, yakni lengkap dari awal sampai akhirnya. Kemudian diturunkan berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun. Berdasar kepada perselisihan yang terjadi tentang berapa lama Nabi bermukim di Makkah sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.
  2. Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia dalam 20 kali lailatul qadar dalam 20 tahun, atau dalam 23 kali lailatul qadar dalam 23 tahun, atau dalam 25 kali lailatul qadar dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam diturunkan kelangit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Muhammad s.a.w. dengan syarat berangsur-angsur.
  3. Al-Qur’an itu permulaan turunnya ialah dimalam lailatul qadar. Kemudian diturunkan sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai waktu.
Penurunan tahap kedua adalah dari langit pertama ke lubuk hati Nabi s.a.w. dengan cara berangsur-angsur yang memakan waktu selama 23 tahun yaitu sejak kebangkitannya sebagai rasul sampai beliau wafat. Adapun alasan bahwa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur adalah:
  • Firman Allah s.w.t. dalam surat al-Isra’:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَا هُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً.
Artinya:
“Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”.(Q.S. al-Isra’:106).
  • Firman Allah dalam surat al-Furqan:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلاَنُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَالِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً.
Artinya :
“Berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja ?”; demikianlah supaya Kami perkuat hati dengannya dan kami membacakannya secara tartil( teratur dan benar)”(Q.S. al-Furqan :32).

Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik mencela Nabi s.a.w. karena diturunkannya al-Qur’an secara terpisah-pisah. Mereka menghendaki agar diturunkannya secara sekaligus sebagaimana diturunkannya Taurat kepada Musa?  Dari peristiwa itu, maka turunlah dua ayat tersebut diatas sebagai bantahan terhadap mereka. Bantahan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh az-Zarqany mengandung dua pengertian : 
  1. Bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara berangsur-angsur
  2. Kitab samawi sebelumnya diturunkan secara sekaligus, sebagaimana telah populer dikalangan jumhur ulama bahkan dapat dikatakan ijma’.
Analisa dari dua pengertian diatas adalah:
  1.  Allah membenarkan apa yang dikemukakan oleh mereka bahwa turunnya kitab-kitab samawi terdahulu adalah sekaligus. Dapat ditandai bahwa Allah menjawab pertanyaan mereka secara filosofis bahwa turunnya al-Qur’an adalah berangsur-angsur dan andaikata turunnya kitab-kitab samawi sebelum al-Qur’an secara berangsur-angsur pula sebagaimana halnya al-Qur’an, niscaya Allah akan memberi bantahan terhadap mereka bahwa mereka tidak membenarkannya.
  2. Penurunan secara berangsur-angsur adalah merupakan sunnatullah, sebagaimana Dia menurunkan sekaligus kitab-kitab kepada para Nabi terdahulu.

E. Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur

  1. Menetapkan hati Rasul yang menjadi pertanyaan kenapa hati Rasul perlu dinisbahkan? Hal itu Nabi dikarenakan berdakwah kepada orang banyak selalu saja mendapat tantangan dari orang-orang yang anti kepadanya, tambah lagi sifat orang-orang tersebut kasar dan bengis serta tidak menunjukkan sikap yang bersahabat. Maka hal seperti itu perlu diberi semangat dan kekuatan kepada Rasul bahwa apa yang dia alami itu sama dengan yang dialami oleh Nabi-nabi dan para Rasul terdahulu.
  2. Untuk melemahkan lawan-lawannya, orang-orang yang anti kepadanya     Rasulullah senantiasa melakukan upaya yang dapat menyudutkannya. Diantara upaya tersebut adalah dengan menunjukkan tantangan yang sepertinya Rasulullah tidak dapat membuktikannya. Misalnya tantangan mereka agar Rasulullah minta kepada Allah untuk menurunkan azab kepada mereka. Apa yang mereka minta itu dibuktikan oleh Rasulullah dan Allah menurunkan azab kepada mereka pada waktu itu juga.
  3. Mudah dipahami dan dihafal, bagi bangsa yang buta huruf sulit dapat menghafal dan memahami sesuatu yang harus dipahami atau dihafal. Oleh karena itu, diturunkan al-Qur’an itu secara berangsur-angsur menjadi mudah dihafal dan dipahami serta diamalkan.
  4. Sesuai dengan lalu lintas peristiwa atau kejadian, al-Qur’an diturunkan sesuai    dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa yang muncul pada waktu itu, misalnya peristiwa tayammum sebagai pengganti wudhu ketika tidak diperoleh air.

F. Masa Turunnya Al-Qur’an

Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi ketika sedang berkhalwat di gua hira pda malam senin, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. = 6 Agustus 610 M.
Ibnu Ishaq, seorang pujangga tarikh Islam yang ternama menetapkan bahwa malam itu, ialah malam ke-17 Ramadhan. Penetapan ini dapat dikuatkan dengan isyarat al-Qur’an sendiri. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:
إِنْ كُنْتُمْ ءَامَنْتُمْ بِااللَّهِ وَمَآأَنْزَلْنَاعَلَىعَبْدِنَايَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَىالْجَمْعَانِ.
Artinya :
“Jika kamu telah beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari al-Furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan”.
(Q.S. al-Anfal:41)
Dikehendaki dengan hari bertemunya dua pasukan yaitu hari bertemunya tentara Islam dengan tentara Quraisy Musyrikin dalam pertempuran di Badar. Yang demikian itu tepat jatuhnya pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan, walaupun tidak dalm setahun.
Masa turunnya al-Qur’an ini terbagi dua yaitu sebelum hijrah Nabi s.a.w. dan sesudahnya.
Pertama: Masa Rasul s.a.w. tinggal di Makkah, selama 12 tahun 5 bulan 12 hari, terhitung sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke- 14 dari kelahirannya, sampai awal Rabiul Awal tahun ke-54 sejak kelahirannya. Semua ayat yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya, sebelum hijrah, disebut ayat Makkiyah.
Kedua: Ayat-ayat yang turunnya sesudah Nabi s.a.w. yang telah hijrah di Madinah, sekalipun tidak persis turun di Madinah, disebut ayat Madaniyyah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan Rabiul Awwal tahun 54 dari Milad Nabi, hingga 9 Dzulhijjah tahun 63 dari Milad Nabi, tahun 10 Hijriyah.