A. Pengertian Kebenaran Ilmiah  

Kebenaran ilmiah terdiri dari dua kata, yaitu kebenaran dan ilmiah. Menurut bahasa, kebenaran adalah kebenaran yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada.Menurut istilah, semua perkataan yang besifat semantik, menunjukkan sebuah pernyataan artinya proposisinya sungguh-sungguh merupakan halnya. Ilmiah menurut bahasa ialah bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Menurut istilah, pengetahuan dapat dikatakan ilmiah bila pengetahuan memenuhi empat syarat, yaitu objektif, metodik, sistematik dan berlaku universal. Pengetahuan bagi kehidupan sehari-hari ialah yang tahu dan berusaha pula memuaskan orang yang ingin tahu, dan berusaha memuaskan keingintahuannya itu lebih mendalam.

Jadi, kebenaran ilmiah ialah suatu pengetahuan yang diperoleh  dengan penelitian dan penyelidikan yang kritis serta diadakan argumentasi, perbandingan, klasifikasi, analisa  sehingga ditemukan jawaban atau hasil yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, dan orang lain dapat menerima dengan puas atas hasil penelitian tersebut.

B. Sarana Pencapaian Kebenaran Ilmiah

Dalam melakukan suatu kegiatan ilmiah  secara baik dan benar, diperlukan saran berfikir secara ilmiah. Dengan adanya sarana memadai, maka akan menghasilkan suatu pemikiran yang cermat dan terarah. Penguasaan sarana ilmiah merupakan suatu yang bersifat imperative bagi seseorang yang pencari kebenaran. Tanpa ilmiah, kebenaran akan terabaikan. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.

Oleh karena itu, untuk  mencapai kebenaran ilmiah diperlukan sarana yang memadai atau kreteria-kreteria ilmiah. Kreteria atau patokan suatu rambu-rambu untuk menentukan benar atau salah tujuan yang hendak dicapai. Maskoeri Jazin berpendapat bahwa ilmu pengetahun dapat dikategorikan ilmiah apabil memenuhi kriteria ilmiah, yakni : teratur, sistimatis berobjek, bermetode dan berlaku secara universal. Untuk mendapatkan kebenaran, persesuaian antara ilmu pengetahuan dan objeknya tidak terjadi secara kebetulan, melainkan melalui prosudur atau metode yang tepat. Dengan metode yang tepat akan dicapai kebenaran yang merupakan keputusan  atas obyeknya, dan juga dirumuskan secara tertentu.

Metode ilmiah yang dimaksudkan adalah obyektif, metodik, sistimatik, dan universal. Obyektif maksudnya adalah pengetahuan  itu sesuai dengan obyeknya. Kesesuaian dapat dibuktikan dengan hasil pengindraan atau empiris. Metodik maksudnya pengetahuan diperoleh dengan cara-cara tertentu teratur dan terkontrol. Sistimatik maksudnya pengetahuan ilmiah tersusun  secara teratur, tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan atau dengan yang lainnya, satu kesatuan yang utuh dan saling menjelaskan. Universal yang dimaksud adalah pengetahuan itu tidak berlaku  untuk satu orang atau sekelompok orang saja, tetapi semua orang dengan cara eksprimentasi yang sama,  sehingga memperoleh hasil yang sama  secara konsisten. Hal ini dapat diamati oleh semua orang dengan menggunakan metode tertentu berdasarkan kesepakatan atau hasil penelitian yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan menggunakan sarana ilmiah tersebut, maka tujuan dari kebenaran ilmiah itu akan terealisasikan.  Problem ini akan medorong untuk berfikir lebih mendalam , sistimatik dan menggunakan metode ilmiah tertentu untuk memecahkan masalah yang terarah dan terkontrol.

Selanjutnya Moh. Nasir Mahmud mengutip pendapat Martin yang mengemukakan bahwa sikap ilmiah yang perlu bagi seseorang yang bekecimpung  dalam dunia ilmu pengetahuan (akademik), paling tidak ditandai dengan lima kecondongan, yaitu:  Pertama, keinginginan mengetahui dan memahami , sikap demikian dinamai spirit of scienci (sangat ilmu ). Kedua , kencendrungan mencari data dan makna, data yang dicari harus mempunyai arti atau dapat dimengerti  dalam rangka satu patokan yang masuk akal dan dapat dipuji. Ketiga, Kecenderungan menuntut satu pengujian empiris. Keempat, penghargaan terhadap logika. Kelima, kecenderungan memeriksa pangkal fikir dengan menyelidiki kebenaran atau kesalahan dan kesimpulan logis yang diturunkan dari premis. 

Dengan sarana ilmiah yang dimiliki oleh seseorang pencari kebenaan, maka akan mendapat suatu tujuan  dari pengetahuan itu, yakni kebenaran ilmiah. Tujuan dari kebenaran ilmiah ini ialah sebagai sarana memahami al-Qur’an, bukan sebagai alat legitimasi kebenaran al-Qur’an, sebab kebenaan al-Qur’an bersumber dari Allah Swt. Oleh karenanya, kebenaran itu pada dasarnya bersumber dari Allah Swt. sebagaimana tercantum dalam Q.S.(2):147:
Terjemahannya: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kamu Termasuk Orang-orang yang ragu.

Dan selanjutnya Allah Swt menjelaskan dalam Q.S. (10) : 82 Terjemahannya: Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang–orang yang berbuat dosa  tidak menyukainya. Kedua ayat tersebut menerangkan bahwa kebenaran ilmiah yang sesungguhnya  berasal dan bersumber dari Allah swt. Dengan demikian, kebenaran ilmiah itu bersumber dari keyakinan ilmiah setelah penelitian secara mendalam atas pembenaran hati secara bulat.

C. Kebenaran Ilmiah dalam Perspektif al-Qur’an

Dalam membahas kebenaran ilmiah dalam perpektif al-Qur’an  sungguh banyak ayat-ayat memberikan isyarat-isyarat tentang sains misalnya ihwal reproduksi manusia, al-Qur’an telah  menentukan fase-fase pertumbuhan janin sejak air mani lalu menjadi segumpal darah kemudian menjadi segumpal daging, sampai daging itu dijadikan tulang dan tulang itu dibungkus daging. Kemudian, Allah menciptakan mahluk baru. Ini dibuktikan oleh dokter-dokter dan ilmuwan-ilmuwan yang mengambil spesialisasi  kandungan. 

Fase-fase tersebut diungkap dalam QS. (75): 36,37,38,39, QS (56): 58, 59. selanjutnya tentang pengetahuan alam, astronomi, astrologi, ilmu alam (fisika), mineralogi, geologi dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut yang berhubungan ilmu astronomi: QS (50): 6, QS.(13): 2, QS. (31): 10, ilmu astrologi QS. (79): 28, QS. (55): 7, QS. (14): 33, metafisika QS. (57): 13, QS. (2): 17, QS. (32): 5, ilmu menarologi QS. (35); 27, QS. (34); 11 ilmu geologi QS.(27): 61, QS. (67): 15, QS. (16): 15.

Ilmu  pengetahuan adalah  mencermati ayat-ayat al-Qur’an yang bertentangan atau yang  tidak bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan. Berdasarkan hal ini , dalam kitab Jawahiru al-Qur’an, Imam al-Gazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan  terdahulu dan yang kemudian,  telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al- Karim. Imam al- Syathibi (1388 M ), tidak sependapat dengan al-Gazali dalam kitabnya al- Muwafaqat, beliau berpendapat bahwa para sahabat lebih mengetahui al-Qur’an dan apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorangpun di antara mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.

Selanjutnya Quraish Shihab berpendapat bahwa hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dinilai banyaknya cabang ilmu pengetahun yang tersimpul di dalamnya bukan pula menunjukkan kebenaran  teori-teori ilmiah. Tetepi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi  yang lebih tepat sesuai kemurnian dan kesucian al-Qur’an  dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.

Sejarah membuktikan bahwa galileo, Ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapatkan masukan pemikiran (Counter) dari suatu lembaga ilmiah. Tapi, masyarakat  tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut. Hal ini akibat  belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis, yaitu manfaat dari penemuan terebut bagi manusia. Jelasnya, al-Qur’an telah menambahkan dimensi  baru terhadap studi mengenai fenomena-fenomena jagad raya membantu pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi.  Al- Qur’an  membawa manusia kepada Allah melalui ciptaan-Nya dan realitas kongkrit yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah yang sesungguhnya dilakuakan ilmu pengetahuan, yaitu mengadakan observasi dan eksprimen untuk mencari suatu kebenaran ilmiah. Pada masa sekarang ini telah dikenal adanya visi penafsiran baru yang disebut dengan tafsir ilmiah al-Qur’an, yaitu penafsiran yang menggunakan prangkap-prangkap ilmu-ilmu kontemporer (seperti astronomi, geoilogi, kimia, biologi, dan sebagainya), realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran dan makna-makna al-Qur’an.

Para ilmu agama dan syariat berselisih pendapat tantang validitas penafsiran ini menurut syara Penolakan itu seperti dari Syekh Syaltut. Beliau mengecam sekelompok cendekiawan yang menguasai ilmu pengetahun kontemporer  atau mengadopsi teori-teori ilmiah, filsafat dan sebagainya, kemudian dengan bekal ilmu pengetahuan itu  menafsirkan ayat-ayat  al-Qur’an berdasarkan kerangka ilmu pengetahuan yang dikuasai itu.  Kalau al-Qur’an diposisikan  kepada hal-hal ilmiah yang tidak konstan, maka menjadikan al-Qur’an tidak konstan (sebagai ilmu pengetahun).  Hendaknya al-Qur’an dibiarkan dengan keagungan dan kemuliannya, tetap menjaga kesucian dan kesakralannya bahwa suatu yang terkandung didalamnya berupa isyarat berbagai rahasia makhluk dan berbagai mozaik alam, dimaksudkan untuk merangsang aktivitas kajian dan analsisagar manusia semakin bertambah keimanannya.

Sayyid Kutub juga menolak tafsir ilmiah al-Qur’an. Menurutnya sesungguhnya al-Qur’an adalah kitab yang komprehensif dalam beberapa subyeknya dan subyeknya itu lebih luas dari semua ilmu pengetahuan karena manusialah yang menggali ilmu penegtahuan dan memanfaatkannya. Kajian, ekspirimen dan penerapan adalah merupakan ciri khas akal manusia. Adapun  al-Qur’an memberikan solusi berdasarkan dimensi kemanusiaan mereka sendiri (berdasarkan kepribadian, perasaan, akal, dan pemikiran). Sesungguhnya hakikat dari al-Qur’an itu final, pasti dan mutlak. Adapun yang melalui kajian manusia ialah hakikat yang belum final dan pasti karena ia tergantung pada batasan-batasan eksprimennya dan kondisi eksprimen tersebut berikut peralatannya, termasuk keasalahan metode yang berdasarkan metode ilmiah manusia saja, yaitu semua yang melalui proses pengetahuan manusia.

Berbagai upaya untuk mengomentari isyarat-isyarat umum al-Qur’an melalui ilmu pengetahun dai analisis-analisis yang tidak konstan mengandung kesalahan  metode dasar. Menurut pemakalah,  ada tiga pemaknaan yang tidak sesuai dengan al-Qur’an, yaitu:
  1. Kesalahan interen, di mana sebagai manusia bahwa ilmu pengetahuan adalah substansi, sedangkan al-Qur’an mengikuti, dari sini mereka berupaya mengkonstankan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan atau mengargumentasikannya dengan ilmu pengetahuan, sedangkan al-Qur’an adalah kitab suci yang komperehensif dalam subjeknya dan final hakekatnya, tetapi ilmu pengetahuan  sampai saat ini masih saja merefisi subjeknya yang dinyatakan sebagai suatu konstan. Semua yang memulai proses tidaklah final dan mutlak karena ia dengan perantara manusia, akal dan perangkat-perangkatnya, secara alami tidak bisa memberikan hakikat yang final dan mutlak.
  2. Jeleknya pemahaman alami al-Qur’an dan fungsinya, sedangkan al-Qur’an adalah hakikat final dan mutlak yang memberikan solusi pembangunan manusia yang sesuai (sebagaimana kapasitas manusia yang bersifat nisbi) dengan kealamiahan alam ini dan peraturan Tuhan, sehingga tidak akan terjadi benturan manusia dan alam, tetapi mengakuinya dan mengetahui rahasia-rahasianya, menggunakan sebahagian aturan-aturan-Nya dalam mengembangkan amanat sebagai khalifah di bumi. Beberapa aturan tuhan dengan  analisis, kajian, eksprimen dan terapan  adalah sesuai dengan kapasitas akal yang dikaruniakan untuk bekerja, bukan untuk menerima begitu saja informasi-informasi  materi secara lengkap ( yang sudah jadi ).
  3. Penakwilan yang terus menerus bagi teks-teks al-Qur,an yang sifatnya qat’i supaya dapat menginterprestasikan  sesuai dengan kajian dan analisis  yang memang tidak konstan dan pasti.
Jelasnya bahwa ilmu pengetahuan memungkinkan sekali  dengan beberapa penemuannya dan beberapa konklusinya untuk memperkuat ayat-ayat al-Qur’an  dengan menjelaskan sesuatu  yang meliputinya  demi kemaslahatan manusia  dan menghidari kerusakan mereka. Untuk itulah  maka bertambahlah  keimanan  kaum mu’min dan menyadarkan orang-orang yang skeptis akan kesempunaan  Islam  dan eksistensinya  di setiap zaman  dan tepat.

DAFTAR  PUSTAKA

Al- Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Qur’an; Filsafat, Spritual dan Sosial dalam Isyarat Qur’an, Cet. II; Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1996.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Surajaya Santra, 1897.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus besar Bahasa Indonesia, Ed. III, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Jasin, Maskoeri, Ilmu alamiah dasar, Cert. IX; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1995.
Kassoff, Louis, Pengantar Filsafat, Ali Bahasa Oleh Soejono Soemagono, Cet. IV; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Mahmud, Moh. Natsir, Epistemologi dan studi Islam Kontemporer, Makassar: Pusat Pengkajian Islam IAIN Alauddin, 2002.