Al-Qur'an merupakan wahyu yang diturunkan kepada nabi muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi manusia khususnya bagi umat islam. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara berangsur-angsur berdasarkan kejadian-kejadian tertentu atau untuk menjawab permasalahan tertentu. Dengan demikian, Al-Qur'an diturunkan secara terpisah dan tidak sekaligus. Maka kemudian hari dilakukan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kesatuan dalam bentuk mushab.

Pengertian Jam'u Al-Qur'an

Kata al-Jam'u berasal dari kata "Jama'a Yajma'u Jam'an" yang berarti berkumpul. Sedangkan untuk makna Alquran menurut bahasa, kata quran adalah bentuk masdar atau verbal qara'a yang artinya membaca, apakah membaca dengan melihat tulisan atau menghafal. Jadi Jam'ul Qur'an berarti upaya untuk mengumpulkan Alquran yang terpisah untuk penelitian dan penyelidikan.

Manna 'al-Qattan membagi definisi Jam'ul Qur’an menjadi dua bagian yaitu:

  • Jam'ul Qur'an dalam arti hifzuhu atau menghafalnya di hati. Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi selalu bergerak, menggerakkan bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur'an ketika itu diturunkan kepadanya.
  • Jam'ul Qur'an dalam arti Kitabuhu kullihi atau menulis semua Qur'an baik dengan memisahkan ayat dan surah, atau hanya mendisiplinkan ayat-ayat dan masing-masing surah ditulis pada lembar terpisah, atau mendisiplinkan ayat dan bab, beberapa ditulis setelah bagian lain.

Sebagian besar literatur yang membahas ilmu-ilmu al-Qur'an menjelaskan bahwa Jam'ul Qur'an mencakup proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi untuk menjadi naskah-naskah Alquran.

Sejarah Pengumpulan Al-Qur'an Pada Nabi

Kodifikasi atau koleksi al-Qur'an telah dimulai sejak zaman Nabi, bahkan telah dimulai sejak awal-awal turunnya Al-Qur'an. Seperti diketahui, al-Qur'an diturunkan secara bertahap, ini disesuaikan dengan kondisi Nabi dan untuk memudahkan menghafal baik oleh Nabi maupun para sahabatnya. Kumpulan ayat-ayat Alquran selama masa Nabi dibagi menjadi dua kategori:

1. Al-Qur'an dalam dada

Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah SAW, di mana ia dikenal sebagai ummi artinya tidak dapat membaca dan menulis. Karena itu, setiap ayat Al-Qur'an diturunkan, ia hanya menghafal dan menjalaninya sehingga penguasaan Al-Qur'annya persis seperti semula. Setelah itu, ia membacanya kepada teman-temannya dan orang-orang sejelas mungkin dan memerintahkan mereka untuk menghafal dan menstabilkannya. Ini persis janji Allah di QS. Al-Qiyamah ayat 16-19.

Para sahabat menghafal Alquran setiap kali Rasulullah SAW menyampaikan wahyu kepada mereka. Ini dapat mereka lakukan dengan mudah terkait dengan budaya (budaya) orang-orang Arab yang menjaga warisan nenek moyang mereka dengan cara menghafal.

Manna'al-Qattan mengutip sebuah hadits dari kitab Sahih Bukhari tentang tujuh hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Ma'qal, Muas bin Jabal, Ubay bin Ka'd, Zaid bin Thabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda '.

2. Pemeliharaan Alquran dengan tulisan

Meskipun Nabi Muhammad dan para sahabatnya menghafal ayat-ayat Alquran secara keseluruhan, tetapi untuk memastikan kelestarian wahyu Ilahi ia tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga menulis.

Sejarah memberi tahu kita bahwa setiap ayat yang diturunkan Rasulullah menyebut teman-teman yang dikenal pandai menulis. Rasulullah menunjuk beberapa penulis wahyu seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Kaab dan Zaid bin Thabit. Ketika ayat itu turun, ia memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan di mana ayat itu ada dalam surat itu. Ayat-ayat Alquran yang mereka tulis di daun palem, lempengan batu, kulit dan tulang binatang.

Tulisan-tulisan Alquran pada zaman Nabi tidak dikumpulkan dalam satu Manuskrip. Biasanya apa yang ada di tangan teman misalnya belum tentu dimiliki oleh yang lain. Menurut para ulama, di antara teman-teman yang menghafal seluruh isi Alquran sementara Nabi masih hidup adalah Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka'd, Zaid bin Thabit dan Abdullah bin Mas'ud.

Al–Zarqani menyebutkan dalam kitabnya Manahil al-Irfan bahwasanya faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga al-Qur’an tidak dibukukan pada masa Nabi adalah sebagai berikut:

  • Sarana tulis menulis pada waktu itu sangat minim dan sangat susah mendapatkannya.
  • Nabi senantiasa menunggu kontinius wahyu karena adanya ayat-ayat yang dinasakh setelah diturunkannya.
  • Ayat-ayat tidak diturunkan sekaligus.
  • Ayat-ayat al-Qur’an turun pada umumnya sebagai jawaban dari suatu pertanyaan atau kondisi masyarakat sehingga tidak turun dalam keadaan tersusun ayatnya.
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa sejak zaman Rasulullah telah terjadi pengumpulan al-Qur’an walaupun tulisan tersebut belum dalam bentuk mushaf seperti sekarang, tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa sudah ada penulisan al-Qur’an pada saat itu.     

Sejarah Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Abu Bakar

Rasulullah saw berpulang kerahmatullah setelah beliau menyampaikan risalah dan menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar al-Siddiq r.a. Pada masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi masalah diantaranya memerangi orang-orang yang murtad, serta memerangi pengikut Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi. Ketika terjadi perang Yamamah, banyak kalangan sahabat penghafal al-Qur’an dan ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih 70 orang huffaz ternama. Melihat banyaknya penghafal al-Qur’an yang gugur, Umar merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar dan berkata: “Telah banyak di antara para huffadz dan qurra’yang gugur dalam medan pertempuran, aku khawatir akan gugur pula yang lainnya, sehingga hilang apa yang tersimpan dalam dada mereka dan lenyaplah ayat-ayat al-Qur’an itu. Menurut pendapatku, baiklah kiranya jika engkau memerintahkan agar al-Qur’an dikumpulkan. Pada awalnya Abu Bakar ragu, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai positifnya, ia kemudian menerima usul tersebut.

Zaid bin Thabit adalah orang yang ditunjuk oleh Abu Bakar untuk mengumpulkan Alquran dalam satu naskah. Alasan pengangkatan Zaid adalah karena dia masih muda, memiliki kecerdasan tinggi dan pekerjaannya pada zaman Nabi sebagai penulis wahyu. Meskipun pada awalnya Zaid bin Thabit juga ragu-ragu, tetapi pada akhirnya ia bersedia melakukan itu. Atas kemauan Zaid bin Thabit, sebuah komite diketuai, sementara para anggotanya adalah Ubay bin Ka'd, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.

Dalam menjalankan tugasnya, berbagai metode digunakan untuk mengumpulkan Alquran. Di antara mereka mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur'an dari para sahabat, mencocokkan penghafalan para sahabat, atau menghadirkan dua saksi yang menyaksikan bahwa pembawa Al-Qur'an telah mendengarnya dari mulut Nabi Muhammad. Dalam rentang kerja tim, Zaid mengalami kesulitan paling besar ketika dia tidak menemukan teks ayat 128 Surat at-Taubah. Ayat ini dihafal oleh banyak teman termasuk Zaid, tetapi tidak ditemukan dalam bentuk tertulis. Kesulitan akan berakhir ketika teks ayat ditemukan di tangan Abu Khuzaimah al-Ansari.

Dengan cara ini Zaid mengumpulkan ayat-ayat dan surah Al-Qur'an dan mengumpulkannya yang sebelumnya terfragmentasi. Setelah selesai mengumpulkan dan menulis Alquran, itu diserahkan kepada Abu Bakar dan dia menyimpannya sampai kematiannya.

Masa pengumpulan Al-Qur'an terlihat sangat singkat. Seperti diketahui, Abu Bakar hanya memerintah kekhalifahan Islam pada waktu itu selama sekitar dua tahun dari Rabi'ul Awwal 11 H hingga Jumadil Tsani 13 H. Sementara Zaid menjalani tugasnya setelah pertempuran Yamamah (bulan ketiga 12 AH) . Ini berarti bahwa waktu yang tersisa untuk Zaid hanya 15 bulan. Al-Zarqani berpendapat bahwa naskah yang dikompilasi pada saat Abu Bakar hanya menulis urutan ayat-ayat tanpa mengurutkan surat-surat.

Demikianlah pengumpulan al-Qur'an pada masa kekhalifahan Abu Bakar, yang dilakukan dengan berbagai metode guna menjaga keabsahan dan integritas Al-Qur'an.

Pengumpulan Al-Qu'ran Pada Masa Utsman bin Affan

Sebagaimana diilustrasikan dalam sejarah, bahwa kembalinya Huzaifah bin al-Yamamah dari perang menaklukkan wilayah Armenia dan Azerbaijan, ia menyatakan keprihatinannya kepada khalifah Utsman bin Affan tentang perbedaan dalam bacaan Alquran di antara umat Islam. Mihsan menggambarkan bahwa penduduk Syam menggunakan pembacaan Ubay bin Ka'd, penduduk Kuffah menggunakan pembacaan Abdullah bin Mas'ud dan penduduk lainnya menggunakan pembacaan Abu Musa Al-Ash'ari.

Atas kejadian ini, Ustman kemudian berkonsultasi dengan teman-temannya tentang apa yang harus dilakukan. Dalam pertemuan itu Ustman dan kawan-kawan sepakat untuk menyalin kembali Manuskrip Al-Qur'an yang memiliki tangan Hafsah untuk dijadikan referensi jika ada perselisihan tentang cara membaca Alquran. Untuk melaksanakan tugas ini, Usman menunjuk sebuah tim yang terdiri dari Zaid bin Thabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hasyim.

Setelah koleksi tulisan sampai di tangan Ustman, ia kemudian menugaskan Zaid bin Thabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al-Ash dan Abdul Rahman bin al-Harith bin Hisham untuk menyalin shuhuf ke dalam beberapa Manuskrip. Proses menyalin lembar ke dalam Naskah disertai dengan perintah Ustman bahwa jika ada perbedaan dalam beberapa tulisan di lembar, maka tulislah dalam bahasa Quraish dengan alasan bahwa Al Qur'an diturunkan secara lisan dalam bahasa Qurays.

Ladjnah yang dibentuk oleh Usman menyelesaikan bisnisnya dalam Hijriyah ke-25, atau dalam Hijriyah ke-30 setelah delapan tahun pemerintahan dipegang oleh Usman bin Affan. Menurut dugaan, sangat mungkin, bahwa pekerjaan diselesaikan antara 25 H dan 30 H. Manuskrip yang dikompilasi pada saat khalifah Usman bin Affan lebih lengkap jika dibandingkan dengan manuskrip pada saat khalifah Abu Bakar. Al-Zarqani menjelaskan bahwa Naskah Utsmaniyah telah ditulis di samping urutan ayat yang teratur, ada juga urutan surah.

Al-Zarkasyi menjelaskan hasil karya itu berupa empat naskah al-Qur'an. Tiga dari mereka dikirim ke Syam, Kufa, dan Basrah dan satu naskah ditinggalkan di Madinah untuk menampung khalifah yang kemudian dikenal sebagai al-Mushaf al-Imam. Agar masalah pendapat silang tentang membaca bisa diselesaikan dengan tuntas, maka Usman memerintahkan semua Naskah yang berbeda dengan karya panitia sehingga keempatnya dibakar. Dengan upaya itu, Usman telah berhasil menghindari fitnah dengan mengikis sumber perselisihan dan melindungi Al-Qur'an dari perubahan dan penyimpangan sepanjang zaman.