A. Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Pandangan Islam terhadap ilmu menjadi landasan bagi pengembangan ilmu disepanjang sejarah kehidupan ummat Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang. Sejak kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu dan menawarkan cahaya untuk mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang berilmu dan beradab. Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.

Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran dengan dilakukannya penerjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Hal yang demikian walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tetapi aktivitas yang sudah mereka lakukan semisal dengan makna Islamisasi.

Ada dua tokoh yang dianggap sebagai pencetus gagasan Islamisasi Pengetahuan yaitu Ismail Raji al-Faruqi (seorang sarjana yang mendirikan lembaga International Institute of Islam Thought di Amerika Serikat) serta Syed M. Naquib al- Attas (seorang sarjana Budaya Melayu yang membentuk lembaga International Institute of Islam Thought and Civilization di Kuala Lumpur). Gagasan ini timbul sejak dasawarsa 1970-an.

Munculnya ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan disebabkan adanya premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan, justru ini akan membahayakan ummat Islam. Naquib al-Attas menegaskan bahwa ilmu itu tidaklah bebas nilai tapi sarat akan nilai. Sedangkan al Faruqi menjelaskan bahwa akibat kemunduran ummat Islam, karena adanya system pendidikan yang berusaha menjauhkan ummat Islam dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan tersendiri atas agama Islam. Oleh sebab itu ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan system pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah membentuk peradaban Islam yang sempurna. 

Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, seperti Fazlul Rahman, Muhsin Muhdi, Abdus Salam Soroush, Bassam Taibi dan lainnya. Fazlul Rahman misalnya mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat di Islamkan karena tidak ada yang salah dalam ilmu pengetahuan.

Walaupun dalam perkembangannya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dikritik, tetapi gagasan Islamisasi ini merupakan suatu revolusi epistemologis yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemology yangh bukan hanya melanda dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat Sekuler.

B. Telaah Islamisasi Pengetahuan

1. Telaah Ontologis

Islamisasi berasal dari kata Islamization yang berarti peng-Islaman. Islamisasi merupakan salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmun agama dan ilmu-ilmu umum.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Attas adalah pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur nasional ( yang bertentangan dengan Islam) dan belenggu paham sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwayanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya. Sedangkan al-Faruqi berpendapat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah usaha untuk mendefenisi kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita.

Secara ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa  dalam relitas alam semesta, sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan adanya hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam hukum tersebut adalah ciptaan Allah.

Al-Qur’an berisi petunjuk tentang obyek studi (ontologis) yang lengkap dengan perintah mempelajari segala apa yang ada di langit dan di bumi dan di antara keduanya. Allah telah menunjukkan obyek ilmu itu tidaklah berarti pembatasan bagi manusia untuk membatasi diri hanya mempelajari obyek yang ada, namun bagi manusia untuk mengembangkan lebih maju lagi pencarian ilmunya. Yang perlu diperhatinkan bahwa petunjuk ontologis dari al-Qur’an boleh jadi sederhana tapi mempunyai makna konotasi yang luas dan mendalam.
Sebagaimana contoh QS Abasaa (80): 24 Allah berfirman:
Artinya: Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
Dengan perintah yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu untuk dipelajari yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan ummat manusia. Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah diraih di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap digalakkan.

2. Telaah Epistemologis

Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana cara memperolehnya. Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan metodologi penerapan ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode pengembangan ilmu. Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-Baqarah (2) : 31
Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.
Di samping perlu mengingat dan menghafal di atas, diperlukan juga metode observasi, eksperimen, demonstrative dan metode intuitif.[9]Hal ini misalnya ketika Allah Swt memperlihatkan kepada Qabil dengan mengirimkan burung gagak menggali tanah untuk menguburkan burung yang mati. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, observasi dan meniru kerja ciptaan-Nya merupakan yang lazim misalnya meniru konsep fungsi sayap dan ekor dalam pesawat terbang. Selain observasi yang merupakan landasan pengkajian ilmu pengetahuan semata juga dibutuhkan kemampuan imajinasi, analisa dan sintesa terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab melalui observasi laboratorium.
Sebagai contoh QS al-Ghasyiyah (88): 17-20:
Artinya:  Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?.  Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen saja, melainkan diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi yang intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu dan teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa orang.

Dari keterangan di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami proses yang panjang tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat dalam hubungan timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun dalam bentuk penerjemahan.

Kondisi tersebut di atas dapat memungkinkan terjadi karena di dalam al-qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya:

  • Berkaitan dengan pengetahuan alam terdapat dalam QS Saba’(34) : 10 dan QS al-Hadid (57) : 25.
  • Berkaitan dengan geografi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 22 dan QS ar-Rad (13) :3’.
  • Berhubungan dengan kesehatan terdapat dalam QS al-Baqarah (2) :184 dan 222, al Mudatsir (74) : 74, al-Maidah (5) : 6, an-Nisa (4) : 43 dan al-A’raf (7) : 31.
  • Berhubungan dengan sejarah terdapat dalam QS Yusuf (12) : 109, al-Ashr (103) : 2, Maryam (19) : 2-15, al-Maidah (5) : 110-120 dan al-Baqarah (2) : 30-39.
  • Berhubungan dengan matematika terdapat dalam QS al-Isra’ (17) : 12 dan 14 serta al-Muzammil (73) : 20
  • Berkaitan dengan ekonomi terdapat dalam QS al-Baqarah (2) : 29, al-Mulk (67) : 15, an-Naba’ (78) : 9-11 dan ad-Dhuha (93) : 6-8.

Dari keaneka ragaman disiplin ilmu di masing-masing bidang dapat diperlihatkan di dunia Barat, maka dalam hal ini Juhaya S Praja mengemukakan pendapatnya bahwa upaya Islammisasi telah menunjukkan hasilnya di Barat. Menurutnya ini adalah gejala aneh, mengapa tidak lahir di dunia Islam?. Alasannya mungkin karena sarjana Muslim yang hidup di dunia Barat menghadapi langsung tantangan dunia nyata terhadap Islam dan ummatnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang terjadinya proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan , meskipun tidak dimulai dari tanah kelahirannya. Sehingga dengan epistemology dapat dijelaskan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan disusun menggunakan kajian ijtihadiyah dengan langkah-langkah yang telah teruji seperti mengingat, menghafal, observasi, eksperimen, demonstrative, metode intuitif, mengkaji, imajinasi, analisa dan sintesa serta adanya ilham.

3. Telaah Aksiologis

Istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan sering dipandang sekelompok pemikir hanya sebagai proses penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan. Konsekuensi dari epistemology  Islamisasi Ilmu Pengetahuan, maka aksiologinya yaitu mengandung nilai rohaniah atau moral yang bersumber dari agama (Islam) sifatnya adalah absolute dan kebenarannya bersifat permanen. Hal ini karena bersumber dari Dzat yang absolute (mutlak) yaitu Allah Swt.
Telaah aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan bahasan materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[13]Dalam hubungannya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dapat dikatakan bahwa dengan Islamisasi dapat diketahui dengan jelas kalau Islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, puasa, zakat dan haji saja, melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain beberapa hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim tidak lain oleh karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga menguasai ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat mempelajari gejala alam dan menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala-gejala alam sesuai dengan hukumnya.

C. Tantangan Ilmu-ilmu Islam 

Ketergantungan ummat Islam dalam pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting dalam membina ummat  hampir tidak dapat dihindari dari pengaruh Barat.Ujung-ujungnya krisis identitas pun tidak terhindarkan oleh ummat Islam. Menurut AM. Syaefuddinj, ketidak berdayaan ummat Islam itu membuatnya bersifat ntaqiyyah. Artinya kaum muslimin telah menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu.

Melemahnya orientasi social ummat Islam ini secara tidak sadar telah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian parsial dalam hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual semata, sementara urusan lain banyak didomionasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, ummat Islam lebih mengenal budaya Barat dari pada budayanya sendiri.

Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan sains modern, di antaranya:

1. Ambivalensi Teknologi
Teknologi bagaimanapun bentuknya akan selalu bersifat ambivalen, yaitu ada untung ruginya.yang dalam bahasa Fiqhinya disebut manfaat dan mudharat bagi manusia dan alam lingkungannya. Dalam lingkungan hidup misalnya dengan muncul istilah pengikisan lapisan ozon, radiasi nuklir, limbah industry, rekayasa genetika dan lainnya. Hal ini penting mengingat teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi manusia, sementara dalam kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan yang tentunya harus mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan Muslimharus menyadari ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus melangkah dari tradisi ke-Islaman yang merupakan identitasnya.

2. Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi atas realitas sosio-kultur.
Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya literature-literatur tentang ilmu-ilmu empiris Islam seperti Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Psikologi Islam, ekonomi Islam dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di abad renaisans Islam, di mana hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka. Ini dapat dilihat dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang ensiklopedia (al-Fihrist), bidang Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-Dinawari dan lain sebagainya.

3. Belum adanya paradigma  yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan struktur keilmuan Islam.
Sebagai misal dalam mensikapi problematika tantangan modernisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan industrialisasi, transformasi, canggihnya alat-alat informasi, dan kuatnya paham rasionalisme yang apabila dihadapkan kepada agama, di kalangan muslim belum mampu menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih bersifat normative. Dan para peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau menolak gagasan-gagasan asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk melawan mereka melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis palsu. Akibat yang ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan Islam menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi, rasionalisme, sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke Barat-Baratan semua ditolak bahkan dikafirkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Cet. VI ; Bandung : Mizan, 1996
Arief, Armai, Reformulasi  Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: CRSD Press, 2005.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet; XXVI: Jakarta: PT Gramedia, 2005
Ibrahim, Marwah Daud, “Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan” (ed.)
Moeflich Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pustaka mCidesendo,2000.