A. Perkembangan Teologi Asy ariyah 

Sebagai pelopor faham Asy’ariyah, Abu Hasan al-Asy ariyah yg dilahir pada Basrah, Irak, pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 H.Beliau tampil sezaman dengan pembukuan hadis yg terakhir, yaitu al-Turmuziy (279 H/842 M), dengan demikian, tampil bersamaan dengan konsolidasi faham sunnah, dengan pembukuan hadis yang telah mendekati  termin penyelesaiannya.
Meskipun apa yang disebut menjadi konsolidasi faham sunnah pada Islam, sebenarnya nir adalah bagian berdasarkan sejarah teologi Islam, tetapi mempunyai arti krusial dalam perkembangan teologi Islam. Tampilnya Ahmad bin Hanbal menjadi pelopor paham Sunni, memberi perbedaan makna baru pola pemikiran warga ,dengan mengagungkan al-Qur'ân dan sunnah Nabi Saw., yg seringkali dikenal menjadi faham ortodoks.

Demikian pula al-Asy’ariy keberpihakannya terhadap kedua sumber (al-Qur'ân dan Sunnah) ajaran Islam dari dalam penalaran, misalnya yg dilakukan sang Mu’tazilah & filosof, menciptakan argumen mereka dengan landasan rasio.

Walaupun al-Asy’ariy mengokohkan dirinya menjadi teolog yang ingin mempertahankan bangunan teologi pada alur argumentasi filosofis  & logis, dia berusaha menyuguhkan pandanganya dengan menciptakan buatan antara pandangan ortodoks (salaf)  & pandangan rasional Mu’tazilah. Tetapi kenyataannya, beliau mengkritik Mu’tazilah bahkan mengoreksi hampir semua pandangan rasional Mu’tazilah dan mencoba menyajikan pandangannya pada kaum ortodoks salaf, menggunakan rumusan yang tidak sinkron.

Al-Asy’ariy menggunakan teologi barunya, menyatakan bergabung dengan faham sunni yang dipelopori oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang sering diisyaratkan menjadi “ahl al-Hadis”, yang condong pada salaf, dan tentu saja berfaham sunnah, suatu aliran yg sangat gigih menentang rasional Mu’tazilah sebelum al-Asy’ariy. Sebutan ini diberikan, karena apabila menghadapi suatu peristiwa–khususnya ayat mutsyabihat-dan apabila ternyata nir menerima solusi penyelesaiaannya, maka mereka membisu saja, tanpa berusaha buat menaruh ta’wilan dalam ayat tersebut.

Setelah bergabung & menaruh gagasannya, al-Asy’ariy kemudian memberikan dukungan, hal ini yg oleh pengikutnya (Asy’ariyah) dianggap sebagai faham “Ahl Sunnah”, karena berkeyakinan bahwa apa yg mereka yakini & pahami berdasarkan warisan Rasulullah saw. Atau sesuai menggunakan sunnah Nabi Saw, lalu dilanjutkan oleh para teman, tabiin selanjutnya sampai kepada generasi ulama mutaqaddimin & seterusnya. Oleh lantaran dianut oleh mayoritas kaum muslimin, merekapun dinamakan “al-Jamaah”,maka term ini dirangkai menggunakan penyebutan “Ahlusunnah waljamaah”. Penyebutan term ini, tampak sang para pengikutnya secara terperinci-terangan menulis pada hasil karya mereka, misalnya al-Baqillani, al-Juwaini, al-Baqdadi, al-Gazaliy, al-Razi dan sebagainya.

Sebagai yang disinggung sebelumnya, al-Asy’ariy tampil bersamaan dengan konsolidasi faham sunni, rakyat mengalihkan perhatiannya pada sunnah Nabi Saw., yang berdampak pemikiran rasional Mu’tazilah kurang diselami oleh awam, dan mendapat dukungan menurut pemerintah terutama khalifah al-Mutawakkil yg menggunakan membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara. Pada akhirnya Mu’tazilah menjadi gerombolan  yang minoritas, & Ahlusunnah sebagai grup yang lebih banyak didominasi.

Setelah al-Asy’ariy dengan faham sunni, merasa sudah mendapat dukungan yg dominan, kemudian menyebarkannya nir hanya terbatas pada bidang teologi saja, namun konsolidasi faham sunni jua dalam bidang aturan (fiqh), dikenallah empat imam mazhab -Abu Hanifah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’I- pada bidang fiqih, bidang tasauf tampillah Imam al-Gazali, bahkan pada bidang politik bisa dirujuk pada tokoh al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah. Bidang terakhir disebutkan politik yg membedakan dengan faham Syi’ah & Sunni.

Pada perkembangan selanjutnya, faham Sunni yg notabene merupakan Asy’ariyah sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sebagai akibatnya para pengikutnya –Asy’ariyah- disatu sisi mereka sependapat, dan disisi lain mereka berseberang pendapat, terutama pada konsep “Kasb” (perbuatan manusia) al-Asy’ariy, bahkan lebih condong pada penggunaan logika & mendekati rasional Mu’tazilah. 

B. Pengaruh Paham Al-Asy'ariyah pada Dunia Islam

Ditengah konsolidasi faham sunni, sebagai teologi yang dikembangkan sang al-Asy’ariy sudah menerima angin segar ditengah warga  dan oleh penguasa, terlebih sesudah tampilnya para pengikut al-Asy’ariy, terutama saat tampilnya al-Gazali kurang lebih dua abad setelah al-Asy’ariy. Dengan argumentasi yg logis (penggabungan filsafat dan teologi), al-Gazali sulit tertandingi pada zamannya, terbukti dia berhasil mengekang gelombang Helenisme ke 2, maka tidaklah berlebihan bila al-Gazali diberi gelaran “Hujjah al-Islam”, dan disertai kehidupannya yang zuhud, Asy’ariyah mendapat loka ditengah masyarakat.

Ditengah keberhasilannya, bukan berarti nir menemukan kendala pada perkembangannya, Mu’tazilah menjadi genre tidak diperhitungkan lagi, akibat dibatalkannya oleh khalifah Mutawakkil pada tahun 848 M. Tetapi Mu’tazilah menerima kesempatan bangkit pulang berkat kemenangan dinasti Buwaihi di Baghdad antara tahun 945 s/d 1055 M, tetapi selesainya dinasti Buwaihi dijatuhkan oleh Tughral dari dinasti Saljuk dalam tahun 1055 M, genre Mu’tazilah masih sangat kuat lantaran didukung perdana menterinya, Abu Hazr Muhammad Ibnu Mansur al-Qundari beraliran Mu’tazilah. Tetapi demikian Tughral (w. 1063 M) digantikan oleh Alp Arselam & mengangkat Nizam Mulk sebagai perdana menterinya, saat itulah faham Ahlusunnah Waljamaah mulai bangkit balik .

Perdana menteri Nizam al-Mulk yg beraliran Asy’ariyah inilah banyak mendukung perkembangan faham Ahlusunnah Waljamaah. Dia mendirikan sekolah yg diberi nama al-Nizamiyah, antara lain pada Baghdad, yang sang al-Gazali telah banyak menaruh butir pikirannya.

Disekolah inilah diajarkan teologi Asy’ariyah, & para pembesar negara jua menganut teologi Asy’ariyah. Dengan demikian, faham Asy’ariyahpun mulai beredar, yg bukan hanya didaerah kekuasaan saljuk, namun diseluruh penjuru dunia Islam lainnya.

Murid-anak didik al-Gazaliy banyak mengembangkan faham Ahlusunnah Waljamaah, misalnya Muhammad Ibnu Tumart yang lalu mendirikan kerajaan Muwahhid (1130-1269 M) pada Afrika Utara dan Spanyol. Salahuddin al-Ayyubiy di Mesir, menjadi pengganti dari genre Syi’ah, yang kerajaan Fatimiyah yang berkuasa pada Mesir (969-1171 M). Di dunia Islam bagian timur hingga ke India dibawa oleh Muhammad al-Gaznawi (999-1030 M), kemudian membentuk dinasti Gaznawi yg berkuasa di Afganistan dan Punjab (962-1186 M).

Selain tokoh pada atas, terdapat tokoh yg kaitannya menggunakan penyebaran faham Ahlu Sunnah Waljamaah yaitu Abu al-Fath Muhammad Ibnu Abd. Al-Karim Ibnu Ahmad al-Syahrastaniy (w. 1153 M), dia sudah banyak memberikan Perguruan Tinggi di Baghdad, mengarang buku al-Milal wa al-Nihal & Nihayah al-Aqdam fiy Ilm al-Kalam.

Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209 M), seseorang filosof yg menggunakan kemampuan argumennya menyerang aliran teologi selain Ahlusunnah, dia pula telah menulis buku, bisalnya Muhallas.

Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi (833-895 H/1427-1490 M) pada Aljazair, beliau telah poly menulis pada bidang Kalam, antara lain Aqidah wa al-Tauhid & Umdah ahl al-tauhid wa al-tasdid. Buku yg kedua ini lebih dikenal menggunakan nama al-Risalah al-Sanusiyah, pada dalamnya disebutkan sifat-sifat Tuhan & Rasul dalam formulasi yang lebih jelas, dan inilah yang populer pada Indonesia.

Faham Ahlu Sunnah Waljamaah yg bersumber dari teologi Asy’ariy,  sudah poly dianut umat Islam, maka selanjutnya tampillah Muhammad bin Abd Wahab yang ingin membersihkan faham-faham khurafat dan bid’ah di tengah rakyat, dengan memperjuangkan pendapat kaum salaf.

Perkembangan selanjutnya, hal ini bisa ditinjau dari komunitas lebih banyak didominasi muslim kini   ini adalah berfaham Sunni, walaupun secara formal tidaklah demikian, akan tetapi secara emosional akan tampak jelas menurut cara berpikir & bertingkah.

Agaknya tidaklah hiperbola jika dikatakan, aliran ini akan permanen eksis, hal ini dimungkinkan lantaran; a) adalah jalan tengah antara dogmatisme & liberalisme, mengakibatkan populer & poly diterima sang umat, b) akomodatif terhadap dinasti yang berkuasa dan memihak pada umum , c) tokoh-tokoh Ays’ariyah merupakan para ulama & alhi debat dalam bidangnya.

Ditengah keberhasilan teologi Asy’ariyah dalam global Islam, disisi lain justru menerima kecaman yang akbar, Sayyed Amer Ali menyatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam kini   ini, galat satu sebabnya karena formalisme Asy’ariyah.