Studi terhadap al-Qur’an sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dengan akselerasi perkembangan sosial budaya dan peradaban manusia sejak turunnya al-Qur’an hingga sekarang. Fenomena tersebut merupakan konsekuwensi logis dari adanya umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks yang terbatas dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tak terbatas. Hal demikian tidak terlepas dari implikasi pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalih li kulli zaman wa makan. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Muhammad Syahrur bahwa al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi  umat manusia.
Dari kenyataan di atas menjadi salah satu pendorong munculnya berbagai macam metode dan corak dalam mengeksploirasi ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat di mana si mufassir berada, serta tingkat intelektualitasnya.

Salah satu metode dan corak penafsiran yang muncul pada awal perkembangan tafsir adalah tahlily dengan corak atsari. Inilah yang mewarnai kitab-kitab tafsir pada saat itu, seperti tafsir al-Thabari, tafsir al-Suyuthi, tafsir al-Samarqandi yang dikenal dengan tafsir Bahr al-’Ulum dan lain-lainya. 

Tafsir al-Samarqandi

Tafsir al-Samarqandi masih satu generasi dengan kitab tafsir al-Thabary, sehingga tafsir ini termasuk tafsir berdasarkan atas riwayat atau dikenal dengan tafsir bi al-Ma’tsur. Sementara dalam kitabnya sendiri yang ditahqiq oleh Ali Muhammad Mu’awwad menganggapnya sebagai gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi al-ra’yi. Namun pada umumnya ulama menganggap sebagai tafsir bi al-ma’tsur karena atsar-lah yang paling dominan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja dalam mengungkapkan atsar tidak memberikan penilaian yang kritis terhadap isnad atau mata rantai perawi hadis.

Kitab tafsirnya ini disebut dengan nama “Bahrul Ulum” karena kedalaman ilmu yang dimilki oleh Abu al-Laits. Kitabnya ini ditulis dalam tiga jilid. Mengenai manuskripnya ada tiga sebagai berikut :
  1. Salinan I terdapat di Universitas Endimburgh dan kurang empat surah, yaitu surat al-Nahl, al-Isra’, al-Hijr, dan surat al-Kahf. Salinan ini terbagi atas 4 jilid dalam dua juz. Juz I mulai surat al-Fatihah sampai akhir surat Ibrahim, juz II mulai surat Maryam sampai akhir kitab dengan tulisan yang sangat jelas, jumlah lembarannya sebanyak 352 dengan 24 baris. Pada akhir tulisannya diberikan simbol (ظ) dan ditulis kalimat sebagai berikut: تم  المجلد الرابع عند الضحى  يوم  الجمعة
  2. Salinan II terdapat di Dar al-Kutub al-Mishriyah dengan kode nomor 56. Ayatnya ditulis dengan tinta merah dengan 543 halaman dan 29 baris serta diberikan simbol ( أ ) pada akhir kitabnya.
  3. Salinan  III terdapat juga di dar al-Kutb al-Mishriyah dengan kode nomor 6, ditulis dengan 542 halaman, 29 baris dan diberikan simbol pada akhir kitabnya dengan ( ب ).
Di dalam muqaddimahnya, Abu al-Laits menempatkan pembahasan khusus tentang pentingnya mempelajari tafsir dengan suatu sub judul, yaitu:  باب الحث على طلب التفسير . Menurutnya, orang wajib menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir, sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat dari sahabat. Dia mengatakan bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an: واحى الى هذا القرآن  لأنذركم به ومن بلغ ... . al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang Arab dan ‘Ajam, mereka tidak bisa dijadikan sebagai petunjuk kecuali setelah mereka mengetahui penafsirannya. Dengan demikian mempelajari tafsir adalah suatu keharusan.

Selanjutnya juga mengecam orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan  hanya mengandalkan akal semata tanpa didasari dengan ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an. Hal ini jelas terlihat dalam muqaddimah kitabnya:  لا يجوز لأحد ان يفسر القرآن من ذات نفسه برأيه . 

Sumber Tafsir al-Samarqandiy

Sebagai tafsir yang bercorak riwayat, tafsir al-Samarqandi termasuk tafsir tahlily, dengan demikian, operasional dalam tafsirnya menggunakan sumber-sumber  dan pendekatan yang digunakan dalam penafsirannya.
Sumber-sumbernya adalah :
  1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena  suatu asumsi dasar bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan. Dalam hal ini, Al-Suyuthi berpendapat bahwa barang siapa yang ingin menafsirkan al-Qur’an, yang pertama harus dilihat adalah al-Qur’an karena tidak ada sebuah penafsiran yang paling akurat keculi dengan al-Qur’an. Seperti disebutkan dalam al-Qur’an : والذين آمنوا وعملوا الصالحات سندخلهم جنات Menurut Abu al-Laits ayat di atas ditafsirkan dengan ayat : مثل الجنة التى وعد المتقون فيها انهار من ماء  غير آس 
  2. Sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah hadis. Menurut abu al-Laits bahwa bilamana tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an, maka sebagian penjelasan diambil dari hadis.
  3. Sumber ketiga adalah perkataan sahabat. Di antara sahabat yang banyak dinukil oleh Abu al-Laits adalah Ali bin abi Thalib, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Zubair dan sahabat yang lainnya.
  4. Sumber keempat adalah perkataan tabi’in. Di antara mereka yang dijadikan sumber tafsir di kalangan tabiin adalah  al-Hasan, Said bin Jubair, Atha’, ‘Ikrimah, Wahab bin Munabbih, al-Suddy, Muqatil, dan sumber paling banyak diambil dari Mujahid.
Di samping ke empat sumber di atas, di dalam tafsir Abu al-Lais juga menggunakan sumber-sumber lain dalam menafsirkan al-Qur’an. Di antara sumber itu adalah:
  1. Ada cerita yang tidak jauh bertentangan dengan al-Qur’an dan diriwayatkan dengan sumber hadis shahih. Ini dianggap shahih, seperti penentuan nama sahabat nabi Musa yaitu Khidr.
  2. Cerita yang bertentangan dengan syariat atau bertentangan dengan akal manusia, seperti yang disebutkan dalam kitab Taurat bahwa yang disembelih dalam kisah nabi Ibrahim adalah Ishaq bukan Ismail. Menurut ulama bahwa kisah ini tidak bisa diterima.
  3. Cerita yang tidak ditolak dan tidak pula diterima. Kita ber-tawaqqup saja. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi, sebagaimana dalam sabdanya: “Janganlah kamu membenarkan dan mendustakan cerita ahl al-kitab, katakanlah bahwa kami percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kamu”.
Ketiga model cerita israiliyyat di atas secara umum terdapat di dalam tafsir bil ma’tsur seperti halnya dalam kitab tafsir al-Samarqandi. Hanya saja di antara tafsir itu ada yang sangat selektif dalam mengambil kisah tersebut, tidaklah semua cerita yang bersumber dari ahl al-kitab dimasukkan dalam tafsirnya, tidak seperti dengan tafsir al-Samarqandi yang mengambil ketiga bentuk cerita israliyyat di atas.

Menurut pemakalah, hal inilah yang merupakan salah satu ‘kekurangan’ tafsir al-Samarqandi, karena tidak selektifnya dalam menilai cerita-cerita yang ditampilkan oleh ahl al-kitab. Padahal cerita-cerita israiliyyat  itu –sebagaimana telah disebutkan di atas- tidak semuanya sesuai dengan al-Qur’an, apalagi hadis yang dijadikan sumber adalah hadis yang berasal  dari orang-orang yang dulunya adalah penganut ahl al-kitab.

Adapun sumber-sumber Abu al-Laits dalam cerita israilayyat  adalah berasal dari hasil bacaan kitab Taurat  itu sendiri dan didengar dari ahl al-Taurat, serta berasal dari ahl al-Kitab yang masuk Islam, seperti ‘Ikrima, al-Dhahhak, Muqatil, Wahab bin Munabbih, dan yang lainnya.

Salah satu contoh kisah israiliyyat  yang dikutip oleh Abu al-Lais dalam kitab tafsirnya adalah kisah nabi Adam dengan Iblis ketika iblis melihat Adam dalam surga, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah فأزلهما الشيطن فأخرجهما مما كانا فيه....

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dia berkata: Ketika Iblis melihat Adam bersenang-senang di dalam surga, iblis iri sehingga dia berusaha masuk menggoda Adam dan ketika masuk dalam surga, iblis merubah bentuknya dalam bentuk ular.

Pendekatan dalam tafsir al-Samaraqandi

Abu Al-laits dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an digunakan beberapa pendekatan berupa  ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir, karena hal itu sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an. Di antaranya adalah:

1. al-Lughawy

Bahasa mempunyai peranan penting dalam menafsirkan al-Qur’an, karena bagaimana mungkin lahir sebuah penafsiran yang akurat tanpa didasari dengan pengetahuan bahasa Arab. Oleh karenanya, Abu al-Laits menyatakan bahwa tidak boleh seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri sebelum mengenal dan mengetahui bahasa Arab dan asbab al-nuzul.

Dalam aspek kebahasan ini Abu al-Laits memeperhatikan beberapa hal, yaitu dari segi makna lafaz, jika tidak ditemukan makna dari al-Qur’an maka kembali kepada kalam Arab atau syair yang berkaitan dengan kata itu. Disisi lain pula dari aspek kebahasaan ini adalah aspek nahwu, sharaf dan balagahnya.

2. Ulum al-Qur’an

Tentang ulum al-Qur’an ini dalam pengantar kitabnya dia membagi kepada bebarapa bagian, yaitu:
  1. Pertama, mengenai qira’at. Abu al-Laits sangat memperhatikan qiraat sampai dia mengemukakan beberapa qira’at dengan menyebutkan argumen masing-masing, kemudian terkadang menguatkan salah satunya atau menggabungkan keduanya, misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 2: 59 “ وقلو خطة“  Kata “khiththah” ada yang membacanya dengan rafa’ dan yang lainnya membaca nasab, menurutnya bahwa pendapat kedua adalah syaz. Dan yang paling kuat adalah rafa’.
  2. Kedua, al-Nasikh al-Mansukh.. Dalam persoalan ini terdapat perbedaan ulama dalam menyikapinya, akan tetapi Abu al-Laits tanpaknya tetap mamahami bahwa dalam al-Qur’an ada al-nasikh wa al-mansukh, baik dalam bentuknya al-Qur’an bil al-Qur’an maupun dalam bentuk al-Qur’an bil al-hadis, misalnya dalam QS al-Nisa 15, menurutnya ayat ini dinasihk dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ubadah bin Shamith, sesungguhnya Nabi bersabda: Allah telah menjadikan baginya (perempuan yang berzina) jalan, yaitu perjaka dengan gadis dipukul dengan 100 kali, al-sayyib dengan al-sayyib dirajam dengan batu.
  3. Ketiga, asbab al-Nuzul. Asbab al-nuzul adalah salah satu alat yang sangat penting dalam memahmi ayat al-Qur’an, karena terkadang dalam satu ayat itu memiliki sebab turunnya, sehingga bila seseorang tidak memahami sebab turunnya tentu pemahamannya pasti keliru. Dengan demikian, tentunya juga Abu al-Laits sangat memperhatikannya dalam menafsirkan ayat yang ada asbab al-nuzulnya.
  4. Keempat, masalah fiqhi. Sebagaimana telah diosebutkan terdahulu bahwa Abu al-Laits memiki gelar “al-faqih” sudah barang tentu dia memiliki ilmu yang sangat mendalam tentang fikh. Dan fikhnya bercorak Hanafy, akan tetapi meskipun bermazhab Hanafi dia tidak memihak kepada corak fikhinya dalam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 222, yang menjelaskan boleh tidaknya perempuan yang sudah haid digauli sebelum mandi wajib. Ayat ini bila dibaca dengan “يطهرن “ dengan tasydid huruf tha dan ha maka berarti samapi suci dari haid. Jadi boleh mendekatinya sebelum dia mandi. Akan tetapi bila dibaca dengan “يطهرن” tanpa tasydid bermakna sampai dia mandi. Jadi baru boleh dodekati bila dia sudah mandi wajib.
Abu al-Laits dalam kasus ini menerima kedua pendapat ini dengan alasan bahwa apabila perempuan masa haidnya kurang dari sepuluh hari maka tidak boleh didekati sebelum mandi wajib, akan tetapi bila masa haidnya lebih dari sepuluh hari lalu dia bersih, maka ketika bersih boleh didekati tanpa mandi wajib dulu.

Analisis Metode Tafsir Abu al-Laits 

Sebagaimana dengan mufasir lainnya, Abu al-Laits dalam memulai tafsirnya ini hampir sama dengan mufasir sebelumnya, yaitu terlebih dahulu mengemukakan nama surah, tempat turunnya dan jumlah ayatnya.

Dalam kasus surah al-Fatihah berbeda dengan yang lainnya. Dia  pertama-tama dia memulai tafsir dalam pembahasan khusus tentang basmalah, dia memishkan dengan surah al-Fatihah, meskipun basmalah itu tetap dikategorikan sebagai satu dari surah al-Fatihah.
Dalam uraian tafsirnya tentang basmalah itu berdasarkan sebuah riwayat  dari ‘Am³r dia berkata: bahwa Rasulullah menulis sebuah surat dengan memulai dengan kata “باسمك  اللهم “, maka turunlah ayat ke-41 surah Hud “ بسم الله مجريها ومرسيها “ maka digantilah dengan kata “bismillah”  setelah itu turunlah ayat ke- 110 surah Bani Israil : “قل أدعوا الله  أدعوا  الرحمن “ maka ditambahlah dengan kata “الرحمن “ kemudian turunlah ayat ke-30 surah al-Naml : “إنه  من سليمان وإنه بسم الله الرحمن الرحيم “ maka disempurnakanlah dengan kalimat bismillah ini.

Berdasarkan riwayat ini bahwa bismillah itu tidak semua diawal surah itu merupakan ayat dari surah tersebut. Kemudian menjelaskan tentang perlunya basmalah itu dibaca setiap kali ingin melakukan sesuatu pekerjaan dan mamfaatnya dengan berdasarkan riwayat-riwayat.

Memasuki penafsiran al-Fatihah Abu al-Laits tidak menjelaskan lagi bagaimana kedudukan basmalah itu dalam surah al-Fatihah, meskipun dalam surah ini tetap menganggap basmalah itu sebagai ayat pertama. Dan dia hanya langsung menjelaskan mengenai tempat turunnya, apakah di Mekah atau di Madinah. Di sini Abu al-Laits mengemukakan beberapa riwayat, yaitu dari Mujahid, yang menurutnya bahwa surah ini turun di Madinah, sementara yang lainnya  (Abu Salh dari Ibn Abbas) menyebutkan bahwa turun di Mekah, dan ada juga pendapat bahwa surah ini dua kali turun, sekali turun di Mekah dan sekali tururn di Madinah.

Dari argumen yang dikemukakan oleh Abu al-Laits di atas tidak menetapkan salah satu pendapat yang lebih kuat, dia hanya memaparkan riwayat-riwayat begitu saja tanpa ada suatu analisa. Kemudian Abu al-Laits menjelaskan nama selain dari surah al-Fatihah dengan mengemukakan beberapa riwayat. Salah satu riwayat yang disebutkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: ‘sesungguhnya Allah menurunkan dalam kitab-Nya satu surah kepada Nabi, kemudian Uba’y bi Ka’ab ditanya tentang surah itu. Lalu dia bertanya apakah yang anda baca dalam shalatmu? Di jawab Umm al-Kitab kemudian Nabi berkata bahwa demi Allah tidak ada yang diturunkan dalam Taurat dan Injil sepertinya, yaitu al-sab’u al-matsani dan al-Qur’an al-‘Azim. Dan dinamakan al-sab’u al-matsani  karena dibaca setiap raka’at shalat.

Setelah menjelaskan nama dan tempat turunnya Abu al-Laits memulai panafsirannya ayat demi ayat dengan beberapa pendekatan:

1. Pendekatan Atsar

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa tafsir Abu al-Laits adalah sebuah tafsir yang memiliki corak bil al-ma’tsur yang sebagai acuannya dalam menafsirkan ayat. Namun menurut penelitian penulis, sekalipun tafsirnya dikategorikan sebagai tafsir bil al-ma’tsur, tidak semuanya ayat yang ditafsirkan berdasarkan riwayat, bahkan dalam satu ayat tidak dikemukakan riwayat.

Dalam kasus al-Fatihah ini, misalnya ketika menafsirkan kalimat al-hamdu lillah Abu al-Laits hanya mengemukakan  beberapa riwayat saja, di antaranya adalah dari Ibn Abbas, yaitu bahwa kalimat ini bermakna  semua bentuk syukur, hal ini ketika Adam bersin dia mengucapkan “al-hamdu Lillah”  lalu Allah menjawabnya  “yarhamkum Allah”. Hadis ini hanya sebagai penguat ketika menjelaskan penggunaan kata-kata antara lafaz al-hamd dengan al-syukr.

2. Pendekatan Kebahasaan

Hal ini dapat dilihat ketika menafsirkan kalimat “alhamd Lillah” menurtnya bahwa kalimat ini bermakna “al-Sykr Lillah”  pendapat ini sejalan yang kemukakan oleh Ibn Abbas, yaitu syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.

Menurut ahli bahasa bahwa kata ini (al-hamd) sama artinya dengan al-syukr, akan tetapi sebagian yang lainnya tetap membedakan pengertian keduanya. Kata al-hamd  lebih umum dari kata al-syukur, yang lainnya berpendapat bahwa kata al-syukr lebih umum dari kata al-hamd, karena kata al-syukur digunakan baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan, sementara al-hamd hanya dalam bentuk biasa.

Menurut Quraish Shihab bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh ora ng yang dipuji, sehinga dia atau perbuatannya layak dipuji, yaitu, indah, diperbuat secara sadar dan tidak dipaksa. Jadi kata al-hamd dalam surah al-Fatihah ditujukan kepada Allah.

3. Pendekatan Qiraat

Sebagaiman telah dijelaskan bahwa Abu al-Laits dalam menafsirkan ayat sangat memperhatikan qiraat-qiraat jika dalam ayat tersebut terdapat perbedaan qiraat dengan mengemukakan pendapat masin-masing ahli qiraat.

Misalnya dalam ayat ke4 dan ke-6, menurutnya bahwa ayat ke-4 terdapat dua bacaan, yaitu ada yang membaca dengan memanjangkan huruf mim-nya “مالك”  dan kedua dengan memendekkan mim-nya “ملك”. Bacaan ini didasarkan beberapa riwayat yang shahih. Ulama yang membaca tanpa alif seperti Nafi’, Ibn Kasir, Hamzah, Ibn Amar bi Al-Ala’ dan Ibn Amir dengan makna ‘raja’. Sementara yang membaca dengan alif yaitu al-Kisai dengan mengartikan ‘pemilik’.

Abu al-Laits dalam menyikapi kedua pendapat ini, agaknya condong kepada pendapat kedua sekalipun pada awalnya dia membaca tanpa alif, akan tetapi dengan motivasi salah satu hadis Nabi, bahwa siapa saja yang memabaca al-Qur’an maka baginya setiap huruf sepuluh kebaikan.