A. Hasad dalam Pandangan Islam

Karena faktor kesombongan merupakan sesuatu yang sangat buruk, maka menjadi sangat wajar kalau Rasulullah Saw menyatakan bahwa: tidak masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong meskipun hanya sebiji sawi. Meskipun Hasad itu sikap yang buruk dan harus kita hilangkan dari diri kita, ternyata oleh Rasulullah Saw dinyatakan tidak semua sikap Hasad itu buruk, ada juga yang positif sehingga boleh dimiliki dan dilakukan, hal ini dinyatakan oleh beliau dalam satu hadits berikut: لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ artinya: “Hasad tidak diperbolehkan kecuali dalam dua hal, iri hati pada orang yang dianugerahi Allah harta yang banyak lalu digunakan untuk kepentingan kebenaran dan iri hati kepada orang yang dianugerahi Allah banyak ilmu lalu ia mengamalkan ilmu itu dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR. Muslim :1350) 

Hasad dalam dua soal yang disebutkan oleh Rasulullah di atas akan membuat seorang muslim semakin tinggi semangatnya dalam mencari harta untuk selanjutnya diinfakkan di jalan Allah dan terus berusaha menambah atau memperbanyak ilmu untuk dimanfaatkan dalam segala bentuk kebaikan sehingga memberi manfaat yang besar kepada orang lain. Ini berarti, keinginan menjadi baik bukan semata-mata keinginan yang dikhayalkan, tapi setiap orang harus berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh apa yang menjadi keinginan baiknya itu. Kalau seseorang ingin memperoleh harta untuk selanjutnya digunakan dengan baik dan memberi manfaat kebaikan pada orang lain, maka dia harus berusaha untuk mendapatkan harta itu secara sungguh-sungguh dengan cara-cara yang halal. Sedangkan bila ingin memiliki ilmu yang banyak untuk diajarkan dan dimanfaatkan dalam kebaikan, maka seseorang harus menuntutnya secara serius sehingga dia menjadi orang yang alim dan bisa memanfaatkan ilmunya itu pada jalan hidup yang benar. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka judul makalah ini layak dan menarik untuk dibahas. Akhirnya menjadi keharusan kita bersama untuk terus menjaga kebersihan jiwa kita masing-masing akan menjadi sehat dan dapat mengarahkan kita pada kehidupan pribadi yang shaleh. 

B. Kandungan Hadis Tentang Hasad Dalam Pandangan Islam

Hasad merupakan sikap yang tercela di dalam Islam, karena hal itu akan membawa dampak yang negatif, baik bagi dirinya maupun terhadap orang lain. Terhadap dirinya akan lahir sikap dan sifat negatif seperti tidak menyukai kritik dan saran, apalagi kalau hal itu datang dari orang yang dia berHasad kepadanya, sedangkan terhadap orang lain dilakukan tindakan-tindakan yang tidak benar, sebagai konsekuensi logis dari ketidaksukaannya terhadap orang yang mencapai keberhasilan dan kemajuan. Karena itu, kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab utama lahirnya sikap Hasad ini agar dengan demikian kita bisa menjauhinya sehinga sikap yang buruk ini tidak tumbuh dalam diri kita masing-masing. dalam Al Qur’an, Allah Swt menyebutkan dua sebab utama yang membuat seseorang berlaku Hasad. 

Pertama, rasa permusuhan dan kebencian kepada seseorang. Fakta sejarah menunjukkan bahwa orang kafir, musyrikin dan munafik tidak suka melihat kemajuan yang telah dicapai oleh Rasulullah Saw dengan para sahabatnya, akibatnya mereka tidak sekan-segan menganiaya, memusuhi bahkan memeranginya. Karena itu terjadilah sejumlah peperangan pada masa Rasul disebabkan rasa permusuhan dan kebencian yang membuat mereka menjadi iri hati. Itulah sebabnya, mengapa orang-orang seperti itu tidak boleh dijadikan sebagai teman kepercayaan sebagaimana firman Allah: artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkanmu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikanhati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS 3:118) Kedua, bersifat dan bersikap sombong (takabbur), yakni merasa diri sendiri yang paling baik, paling benar atau paling hebat. Dari sifat dan sikap seperti itu seseorang tidak suka terhadap keberhasilan dan kemajuan yang dicapai orang lain sehingga kemajuan dan keberhasilan orang lain itu harus dihambat, bahkan kalau perlu dihentikan dengan berbagai cara, dari sinilah salah satu faktor yang menyebabkan lahirnya prilaku kriminal dan akhlak tercela lainnya antara manusia yang satu terhadap manusia yang lain, bahkan penolakan terhadap nilai-nilai kebenaran yang dibawa oleh Rasul. Allah berfirman: 


Kata “Takhrij” adalah bentuk masdar dari kata kerja “خرّج, يخرّج, تخريجا”. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa : “menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah . a. حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كُلُّهُمْ عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Amru An Naqid dan Zuhair bin Harb semuanya dari Ibnu Uyainah -Zuhair- berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah Telah menceritakan kepada kami Az Zuhri dari Salim dari bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak boleh dengki kecuali pada dua hal. (Pertama) kepada seorang yang telah diberi Allah (hafalan) Al Qur`an, sehingga ia membacanya siang dan malam. (Kedua) kepada seorang yang dikaruniakan Allah harta kekayaan, lalu dibelanjakannya harta itu siang dan malam (di jalan Allah)” b. حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Salim bin Abdullah bahwasanya; Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak diperbolehkan Hasad kecuali pada dua hal, yaitu; Seorang yang diberi karunia Alquran oleh Allah sehingga ia membacanya (shalat dengannya) di pertengahan malam dan siang. Dan seseorang yang diberi karunia harta oleh, sehingga ia menginfakkannya pada malam dan siang hari.” 

Iri, dengki atau Hasad istilah yang hampir sama- berarti menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan Hasad, itulah iri. Kata Ibnu Taimiyah, “Hasad adalah sekedar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.” Hasad seperti inilah yang tercela. Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut oleh para ulama dengan ghibthoh. Yang tercela adalah Hasad model pertama tadi. Bagaimanakah bentuk ghibtoh atau iri yang dibolehkan? Simak dalam tulisan sederhana berikut ini. 

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hasad yang dimaksud di sini adalah Hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan Hasad yang tercela.” Ibnu Baththol mengatakan pula, “Inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthoh dalam Ilmu dan Hikmah”. Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan dan ilmu yang dimanfaatkan pula, pen), maka seharusnya seseorang ghibthoh (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu) dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.“ Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud hadits di atas adalah tidak ada keringanan pada Hasad kecuali pada dua hal atau maksudnya pula adalah tidak ada Hasad yang baik (jika memang benar ada Hasad yang baik). Disebut Hasad di sini dengan maksud hiperbolis, yaitu untuk memotivasi seseorang untuk meraih dua hal tersebut. Sebagaimana seseorang katakan bahwa hal ini tidak bisa digapai kecuali dengan jalan yang keliru sekali pun. Dimotivasi seperti ini karena adanya keutamaan jika seseorang menggapai dua hal tersebut. An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi Hasad menjadi dua macam, yaitu Hasad hakiki dan Hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun Hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan. 

Ada faedah lain dari hadits di atas: 
Pertama: Mulianya mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), menempuh berbagai cara untuk memahaminya, juga keutamaan mengajarkannya pada orang lain dalam rangka mengharapkan wajah Allah. Inilah yang menyebabkan seseorang boleh iri (ghibtoh) padanya, artinya ingin seperti itu. 

Kedua: Keutamaan berinfak dari usaha yang halal pada berbagai jalan kebaikan. Contohnya di sini adalah infak untuk pembangunan masjid, madrasah, pencetakan kitab ilmu (seperti kitab tauhid, fiqh, tafsir, dan bantahan untuk hali bid’ah, kitab bahasa Arab), dan jalan kebaikan lainnya. 

Ketiga: Dalam lafazh hadits “آتاه الله مالاً”, seseorang yang Allah beri karunia harta, maka ini menunjukkan bahwa harta itu sebenarnya datang dari Allah. Allah mengkaruniakan harta tersebut pada siapa saja yang Allah kehendaki. Allah pun tidak memberikannya pada seseorang sesuai dengan kehendaknya. Barangsiapa yang Allah beri karunia harta, maka hendaklah ia bersyukur dengan menuniakan hak Allah. Janganlah ia gunakan nikmat harta tersebut untuk bermaksiat. Sedangkan orang yang disempitkan dalam masalah harta, hendaklah ia bersabar dan tetap menempuh jalan rizki yang Allah halalkan. Janganlah sampai ia malah menempuh jalan yang Allah haramkan karena kesulitan finansial yang ia hadapi. 

Keempat: Dalam lafazh hadits “ورجل آتاه الله الحكمة”, seseorang yang Allah beri karunia ilmu, ini menunjukkan bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah yang Allah beri kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Akan tetapi ilmu itu diperoleh dengan dicari, perlu ada kesungguhan dalam menghafal, memahami, mengulang dan menyampaikannya pada yang lain. Cahaya ilmu ini diperoleh dengan kesungguhan berharap dan meminta pada Allah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا “Katakanlah: Ya Rabbku, berikanlah padaku ilmu.” 

Kelima: Kenikmatan dunia yang begitu melimpah bukanlah hal yang patut seseorang ghibtoh (berlomba-lomba untuk memperolehnya) kecuali jika ada maksud untuk amal kebaikan. 

Namun hal ini berbalik dengan kelakuan kebanyakan orang, mereka malah senangnya berlomba-lomba untuk memperoleh dunia. Tidak ada rasa keinginan dari mereka untuk memperoleh ilmu dan iman dari para ulama (orang yang berilmu). 

Keenam: Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan pada yang lain. Sedangkan ilmu yang hanya dipelajari saja tanpa diamalkan adalah ilmu yang hanya jadi petaka untuknya, wal ‘iyadzu billah. 

Ketujuh: Harta yang bermanfaat bagi pemiliknya adalah harta yang diperoleh dengan jalan yang halal, lalu disalurkan pada nafkahh yang wajib untuk diri dan keluarga secara ma’ruf (wajar). Harta itu pun disalurkan untuk zakat yang wajib dan sedekah kepada fakir miskin, juga disalurkan untuk menyambung hubungan kerabat.