Hadis Tentang Larangan Gibah dan Fitnah

Terdapat sebuah cerita dimana dalam suatu pertemuan yang boleh dirasakan besar. Seorang penceramah yang adalahsalah seorang figur yang dihormati dalam acara tersebut menyerahkan sambutannya. Dalam sambutan itu sang tokoh menyebut seorang da’i yang beliau anggap salah dalam mengucapkan ceramahnya. Sang figur memandang bahwa sang da’i menuliskan bahwa apa yang ia sampaikan ialah sebuah hadis sedangkan sang tokoh menuliskan bahwa jangan kita mengatakan tersebut hadis bila bukan hadis.

Kita seluruh sepakat bahwa kalau tersebut bukan hadis maka haram hukumnya anda menyandarkan untuk Rasulullah saw. sebagaimana sabda Rasulullah saw. sebagai berikut:
عن سلمة بن الأكوع قال: سَمِعْتُ  النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  يَقُوْلُ: مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَاَ لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya:
Dari Salamah bin al-Akwa’ radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berbicara atas namaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan, maka siapkan lokasinya  di neraka”. [HR al-Bukhoriy: 109 dan Ahmad: II/ 501 dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtasor shahih al-Bukhoriy: 74

Dalam acara itu sang figur dengan lantang memojokkan sang da’i. Lantas apakah yang sang da’i ucapkan sehingga sang figur begitu memojokannya?

Dalam suatu khutbah sang da’i membicarakan hal-hal yang butuh ada dalam diri setiap insan dan di antara yang urgen itu ialah bekerja keras guna memenuhi keperluan fisik/biologis. Lantas sang da’i mengucapkan sebuah ungkapan kawan Nabi yang mempunyai nama Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu anhu sebagai berikut:

اعمل لدُنيْاك كأنّكَ تعيشُ أبداً، واعْمَلْ لآخِرَتِكَ كأنَكَ تَمُوتُ غداً
Bekerjalah guna duniamu, seakan-akan anda hidup selamanya. Dan beramallah guna akhiratmu, seolah-olah esok hari anda meninggal dunia.”

Pada poin ini, sang figur mengambil benang merah ada dua kekeliruan yang dikatakan sang da’i. Pertama: sang da’i menuliskan bahwa tersebut hadis sementara tersebut bukanlah hadis nabi. Kedua: sang da’i  mengasingkan antara dunia dan akhirat (sekular)
.

Benarkah sang da’i menuliskan seperti itu?

Ternyata apa yang dikatakan oleh sang da’i dalam khutbahnya tidak seperti benang merah yang ditarik oleh sang figur yang lantas ia ucapkan dalam forum besar. Sang da’i mengatakan, kesatu: terdapat suatu riwayat tetang pentingnya kerja keras, lantas ia membacakan matan riwayat tersebut. Pertanyaannya merupakan, apakah sama antara riwayat dengan hadis?

Definisi riwayat ialah cerita turun temurun sementara hadis hadis ialah segala ucapan Nabi saw, perbuatan, dan taqrirnya yang sehubungan dengan hukum syara' dan ketetapannya. Jadi jelaslah bahwa apa yang dikatakan oleh sang da’i tidaklah salah sebab tidak menyandarkan untuk Nabi saw. lantas sang da’i menyatakan bahwa arti dari riwayat tersebut ialah pentingnya banting tulang untuk kepentingan dunia namun tidak boleh lupakan kehidupan akhirat sebagai hakekat kehidupan manusia. Jelaslah bahwa tidak terdapat yang salah dari khutbah sang da’i. Kesalahan terjadi ketika penarikan benang merah oleh sang figur yang menyamakan antara riwayat dan hadis serta penarikan benang merah matan yang prematur. Terlepas dari sang figur yang tidak cukup memahami perbedaan terbut ataukah beliau tidak cukup konsen dalam memperhatikan penjelasan sang da’i yang pasti urusan itu tidaklah mesti dikatakan di forum akbar.

Pernyataan sang figur dalam pertemuan akbar itu secara langsung menyayat hati sang da’i sekaligus membingungkan sang da’i terdapat apa dengan sang figur yang ia anggap sebagai orang terhormat dan masih ia anggap sebagai gurunya. Tapi alhamdulillah sang figur tidak melafalkan secara langsung siapa sang da’i yang ia maksud sehingga melulu sekelompok orang saja yang memahami hal tersebut.

Sebagai seorang figur tidaklah pantas mengucapkan sesuatu guna menjatuhkan orang beda tanpa dasar yang powerful dan analisis yang mendalam karena kerugian tidak melulu untuk sang da’i dan umat namun kerugian bakal berbalik padanya sebab ia bakal dinilai. Menyampaikan sesuatu untuk orang beda mempunyai konsekwensi ukhrawi bila bukan fitnah maka itulah gibah sebagaiman sabda rasulullah saw. sebagai berikut:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Artinya: Tahukah kalian apa tersebut ghibah (menggunjing)?. Para sahabat membalas : Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Kemudian beliau bersabda : Ghibah ialah engkau merundingkan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci. Ada yang bertanya. Wahai Rasulullah bagaimana bila yang kami katakana itu sungguh-sungguh ada pada dirinya?. Beliau membalas : Jika yang kalian katakan tersebut betul, berarti kalian telah melakukan ghibah. Dan andai apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian sudah memfitnah (mengucapkan sebuah kedustaan) (HR.Muslim).

Hadis ini mengingatkan kita supaya berhati-hati dalam bebicara lagipula kalau tersebut menyangkut orang lain sebab konsekwensinya sangatlah besar bila bukan finah berati gibah dan dosa manusia untuk manusia beda akan dimaafkan oleh oleh Allah swt. Kalau ia telah mohon maaf untuk orang yang ia sakiti.