A. Sudut Pandang Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Pada era modern, madrasah masih tetap hidup. Namun demikian, eksistensinya menjadi dipertanyakan ketika kurikulumnya masih dimonopoli oleh ulm al-naqliyah. Karena posisi madrasah yang menaruh jarak dengan sains modern itulah makna madrasah sering disebut lembaga tradisional. Kurikulum madrasah yang sering membatasi diri pada ilmu-ilmu agama agaknya mengancam eksistensinya sendiri.
Meskipun demikian, jika dilakukan penyesuaian dengan kecenderungan pendidikan modern, madrasah masih tetap dituntut untuk menampilkan cirinya sendiri yang memperhatikan ilmu-ilmu agama secara lebih proposional. Madrasah dalam era modern berada dalam tarik menarik antara keharusan mempertahankan pengajaran ilmu-ilmu agama secara modern di satu pihak, dan mengembangkan pengajaran ilmu-ilmu non keagamaan di lain pihak.
Sikap madrasah yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing (terisolasi) dan bahkan lenyap dari perkembangan modern. Sebaliknya sikap akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekular) juga akan menjerumuskan madrasah kedalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman. dari situlah menurut penulis perlunya penanaman sikap demokratisasi dan liberalisasi dalam mengaplikasikan sistem madrasah.
Sistem pendidikan Islam di madrasah senangtiasa menjadi jantung, pusat kehidupan, peradaban Islam sebagai salah satu tonggaknya sebab ia tidak dapat dipisahkan dari tradisi itu sendiri yang membentuk tulang punggung keseluruhan peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, terutama teknologi komunikasi elektronik dan teknologi komputer yang sangat pesat pada penghujung abad XX memasuki abad XXI, Milenium III, telah mengantar dunia dari masyarakat modern menjadi masyarakat informasi, yang menyebabkan dunia mengalami perubahan drastis dan mengalami proses transformasi globalisasi.
Upaya peningkatan mutu madrasah merupakan tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat dihindari. Era pasar bebas yang akan mulai bergulir tahun 2003 menuntut "kemampuan bersain" dari SDM kita. Kemampuan bersain hanya mungking muncul bila kita "berkualitas". Untuk memberi gambaran madrasah pada masa depan, maka perlu dirumuskan gambaran tentang visi madrasah dalam alam globalisasi. Visi madrasah tersebut adalah menjadi madrasah sebagai "sekolah plus" yang berkualitas, berkarakter dan mandiri", Madrasah plus adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan tekhnologi, namun tetap dengan identitas keislamannya. Ini sesuai dengan konsep madrsah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam.
Dalam upaya peningkatan kualitas tersebut, dunia pendidikan Islam masih membahas dengan "kualitas guru" yang belum memadai. Keadaan ini lebih menonjol setelah ditetapkan kurikulum 1994, di mana kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah umum yang setingkat, plus ciri khas Islam untuk tingkat madrasah. Saat ini guru dalam kategori layak hanya sekitar 20% sedangkan untuk kategori salah kamar (mismatch) 20 % dan sisanya 60 % masih dalam kategori belum layak. Ini tantangan berat yang harus dihadapi dunia madrasah yang bermutu lebih rendah dibanding dengan sekolah umum yang setingkat di Dikbud. Dalam pada itu berbagai sistem pendidikan yang dapat dilihat di antaranya:
Berdirinya lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren dan Madrasah Diniyah atau semacamnya diproritaskan pada studi keagamaan dengan "ilmu agama" tertentu. Tetapi mata pelajaran yang ada di dalamnya tidak dapat memenuhi harapan agar umat Islam dapat eksis sebagai khalifah dalam berbagai aspeknya. Sesungguhnya sistem atau pola pemikiran pertama sudah berjalan, tetapi arus modernisasi semakin hari semakin kuat. Sebagian umat Islam melihat kalau sistem pendidikan yang ada tidak dapat di andalkan memenuhi kebutuhan, terutama kebutuhan material. Karenanya. Sebagian umat Islam berusaha meniru sistem pendidikan yang sudah tersebar didunia Barat. Sehingga di Indonesia muncul Istilah Madrasah Aliyah Umum (MAU), Madrasah Aliah Negeri Program Khusus (MANPK), dan sebagainya.
Berpendirian bahwa sistem pendidikan model Barat yang tidak memperhatikan "Ilmu Agama Islam" dan Sistem Pendidikan Islam yang tidak peduli terhadap "Sistem Modern" harus diubah dan diperbaharui, karena sistem pendidikan Barat akan hanya menghasilkan manusia intelek yang kurang/tidak tahu tentang agama dan berorientasi keduniaan (bersifat Pragmatis). Sedangkan sistem pendidikan Islam secara tradisional akan dapat menghasilkan "ulama" yang kurang tahu mengenai politik dan urusan keduniaan. Padahal manusia yang diharapkan Islam adalah manusia yang sempurna (bahagia di dunia dan bahagia pula di akhirat).
Agaknya, pembaharuan yang ada dengan melalui beberapa sistem seperti yang telah dikemukakan, belum dapat memenuhi harapan umat Islam. Hal tersebut disebabkan sistem pendidikan Islam yang ada masih menampakkan adanya dualisme pendidikan antara sekolah dan Madrasah, antara Perguruan Tinggi Islam dan Perguruan Tinggi Umum. Di samping itu masih menampakkan pula adanya dikotomi ilmu, antar "Ilmu Agama" dan "Ilmu Umum".
Dengan paradigma tersebut menurut penulis perlu di adakan reformasi atau pembaharuan sistem, di antaranya rekonstruksi secara komprehensif integratif. Sehingga pada suatu saat tidak ada disintegrasi antara sistem sekolah dan madrasah atau keduanya tersingkronisasi (menyatu). Sistem pendidikan yang mapan selama ini di madrasah dapat diandaikan sebagai sebuah "bank" (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda.
Jadi anak didik adalah obyek infestasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainya yang lasim dikenal. investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga pemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas dapat diperlakukan sebagai "bejana kosong" yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman "modal ilmu pengetahuan" yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subyek aktif , sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoretis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan "gaya bank" itu sebagai berikut:
1. Guru mengajar, murid belajar,
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa,
3. Guru berpikir, murid dipikirkan,
4. Guru bicara, murid mendengarkan,
5. Guru mengatur, murid diatur,
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti,
7. Guru memilih apa yang akan di ajarkan, murid menyesuaikan diri.
8. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
9. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Oleh karena guru menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai manusia ideal yang harus ditiru, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan "nekrofili" dan bukanya melahirkan "biofili" implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Menurut Freire, sestem pendidikan sebaliknya (sistem demokratisasi) justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Pola pendidikan seperti yang pertama tadi (banking concept of education) hanya akan mampu merubah "penafsiran" seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah realitas pada dirinya sendiri.
Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya kurang terasa terkait atau kurang koncern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi "makna" dan "nilai" yang perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara kongkret-agamis dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Pada era globalisasi ini para siswa menghadapi kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa kini dan masa depan, yaitu:
1. Kemajuan IPTEK dalam bidang informasi serta inovasi-inovasi baru di dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia
2. Masyarakat yang serba kompetitif
3. Meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersama, dan semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi.
Semuanya itu akan berpengaruh juga pada kurikulum dan model pengembangan pendidikan agama yang akan disajikan kepada peserta didik.
B. Pengembangan Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Konsep tentang Islam dan demokrasi telah mulai mendapat tempat signifikan dalam pendidikan politik Islam modern. Dalam upaya untuk menemukan suatu basis ideologis yang diterima oleh semua kalangan di dunia Islam, para pemikir dari berbagai kalangan masyarakat muslim mulai merambah misi baru untuk merekonsiliasi perbedaan perbedaan antara berbagai kelompok. Padahal menurut penulis Islam dan demokrasi saling memperkuat bahkan di dalam ajaran Islam terdapat nilai-nilai demokrasi. Ada dua hal yang menjadi dilema di dalam pendidikan Islam.
Pertama, berkaitan dengan elemen-elemen fenomenologis yang mengundang perdebatan apakah Islam compatible (cocok) dengan demokrasi atau tidak.
Kedua, berkaitan dengan akar-akar demokrasi dalam pengalaman Islam. Bagi sebagian kalangan, terutama dalam lingkungan akademis dan media Barat, wacana mutakhir tentang Islam memunculkan keraguan serius mengenai kompatibilitas Islam dan demokrasi. Alasan yang kerap dikemukakan adalah, kaum revitalis muslim punya kelemahan dalam hal komitmen mereka terhadap pluralisme dan demokrasi. Akibanya negara-negara dunia Islam selalu gagal dalam upaya membentuk suatu politik demokratis.
Berkaitan dengan pendidikan Paulo Freire, cendikiawan katolik dari Brazil ini begitu keras mengeritik sistem dan praktek pendidikan seperti gaya bank yang membelenggu akal dan nalar manusia pendidikan. Sejalan dengan prinsip demokrasi pendidikan Islam, pendidikan yang dikehendaki Poulo Freire adalah pendidikan yang menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi serta mampu pula mengarahkan dan mengendalikan perubahan itu. Mencela jenis pendidikan yang memaksa manusia yang menyerah kepada keputusan-keputusan orang lain. Pendidikan yang di usulkan adalah pendidikan yang dapat menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan dengan demikian mengubahnya.
Kecenderungan Paulo Freire terhadap pendidikan di atas, tidak banyak berbeda dengan apa yang di ajarkan Muhammad saw, enam belas adab yang lalu: dengan konsepsi ajaran tauhid yang mulia serta praktek pendidikan dan dakwah Islam-nya yang begitu toleran terhadap perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat-sahabatnya. Beliau amat menghargai setiap perbedaan pendapat dari para sahabat , seperti perbedaan pendapat antara sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab.
Pendidikan merupakan kunci pembuka ke arah kemajuan suatu bangsa. Pendidikan yang maju dan kuat akan mempercepat terjadinya perubahan sosial. Namun jika pendidikannya yang mundur maka bisa dipastikan akan kontra produktif terhadap jalannya proses perubahan sosial, dan justru akan menimbulkan ketidak harmonisan tatanan sosial.
Berbicara dalam konteks pendidikan Islam Azyumardi Azra melontarkan suatu keprihatinan terhadap prestasi pendidikan Islam yang masih menempati posisi marjinal. Azra menyatakan bahwa; dikarenakan pengelolaan yang secara umum kurang profesional, pendidikan Islam seringkali kalah bersaing dalam berbagai segi dengan sub sistem pendidikan Nasional yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain . bukan rahasia lagi, bahwa citra dan gengsi lembaga pendidikan Islam sering dipandang sebagai subordinat dari pendidikan yang diselenggarakan pihak lain.
Pendapat di atas memperlihatkan benang merah dari kelemahan besar yang diperlihatkan oleh lembaga pendidikan Islam yakni kelemahan menejerial, eksklusifitas dan rendahnya prestasi. Jika di amati, maka ketiga titik lemah tersebut, kesemuanya merupakan permasalahan yang sangat esensial. Atmosfir reformasi yang mulai bergulir pada tahun 1998, tampaknya membawa angin segar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Politik pendidikan nasional berubah seiring dengan pergantian pemerintahan. Pada tanggal 7 mei 1999, presiden Habibie menandatangani Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Implementasi dari undang-undang tersebut meskipun belum bisa dilaksanakan sepenuhnya) akan segera mengubah secara drastis konsep penyelenggaraan negara. Dengan undang-undang ini, kabupaten dan kotamadya memiliki kewenangan yang sangat besar, termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab dalam pasal 7 undang-undang no 22 tahun 1999 ini dinyatakan bahwa:
"Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang; politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan bidang lain".
Dengan kata lain, salah satu imbas dari digulirkannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, telah menggeser pengelolaan pendidikan yang bersifat sentralistik menjadi pendidikan desentralistik.
Sebagai langkah awal dalam upaya membangun madrasah adalah bagaimana menset ulang pola pikir para pengambil kebijakan dan pengelolah lembaga pendidikan tersebut. Bagaimana peningkatan citra dan gengsi madrasah dengan instrumen prestasi?
Bagaimana megubah pola manajemen?
Serta bagaimana meningkatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga mereka merasa memiliki madrasah?
Dengan kata lain madrasah tidak terpisah dari masyarakatnya. Kesemuanya merupakan pertanyaan-pertanyaan krusial yang harus segerah dijawab oleh para pengelolah madrasah.
Tuntutan masyarakat terhadap pendidikan semakin tinggi seiring dengan tinkatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan-perubahan zaman yang sangat cepat. Mukhtar Bukhari mengidentifikasi tiga kemampuan yang dituntut oleh masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan, yakni:
1. Kemampuan untuk mengetahui pola perubahan dan kecenderungan yang sedang berjalan
2. Kemampuan untuk menyusun gambaran tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh kecenderungan yang sedang terjadi
3. Kemampuan untuk menyusun program penyesuaian diri yang akan ditempuh dalam jangka waktu tertentu.
Adapun kegagalan untuk mengembangkan ketiga kemampuan tersebut akan mengakibatkan sistem pendidikan terperangkap ke dalam rutinitas. Dua pendapat di atas setidaknya bisa dijadikan acuan dalam upaya menyiapkan komponen-komponen yang akan menjadi bekal bagi peserta didik atau out-put madrasah ketika mereka kembali ke pangkuan masyarakatnya .