A. Biografi KH. Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 23 Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan kecuali adik bungsunya. 

Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang keduabelas dari maulana malik Ibrahim seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal jujur dan sederhana dan inilah yang membuatnya disukai orang. Untuk mempelajari ilmu-ilmu agama ia berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Ia mempunya sikap kritis terhadap pola pendidikan tradisional tetapi tidak punya kekuatan untuk mengubahnya. Dalam keadaan seperti ini Ia beruntung memproleh kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Mekah pada tahun 1890.

Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.

KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir. Dalam pendidikan keagamaan formalnya sebagian besar waktu K.H. Ahmad Dahlan tampaknya dihabiskan untuk mempelajari ajaran Islam tradisionalis, karena itu perkenalannya dengan gagasan-gagasan modernisme Islam kemungkinan terjadi lewat bacaan pribadi dan hubungannya dengan kaum moerdenis Muslim lain. Sekembalinya dari Mekkah tahun 1905. ia menikah dengan Siti Walidah, anak perempuan seorang hakim di Yogyakarta yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Karena gajinya sebagai khatib tidak mencukupi untuk memenuhi keperluannnya sehari-hari, ia berdagang batik. Ini membawanya ke hampir semua daerah di Jawa dan memberinya kesempatan untk menyampaikan gagasan-gagasannya kepada kaum Muslim yang menonjol di daerah masing-masing. Mereka inilah yang belakangan menjadi bagian inti gerakan Muhammadiyah dan pengikutnya yang bersemangat.

Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta

B. Pemikiran pembaharuan KH. Ahmad Dahlan

1. Ide Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ­tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. 

K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi. Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. 



Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini. Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ­laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.

2. Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan

Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat te­robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per­kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggo­ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor­-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha­rap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pe­lajaran dan cara mengajar agama yang di­berikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah­mad Dahlan membuka sendiri sekolah se­cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi­fat permanen.

3. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan

Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunyai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis. Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan. 



Ada banyak hal yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu diantaranya yaitu: 

  1. Melakukan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam
  2. Mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran teradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat mengahadap kea rah Barat lurus. Padahall kiblat yang seenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah iring kearah Utara + 24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat menuju Barat lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri supaya menuju kea rah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan.

Berdasarkan perhitungan astronominya, K.H. Ahmad Dahlan menyataka bahawa hari raya Idul Fitri yang bersamaan dengan hari ulang tahun Sultan harus dirayakan sehari lebih awal dari yang diputuskan para ulama “mapan”. Dan melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Sultan menerima pendapat K.H. Ahmad Dahlan namun karena ini pula beliau kehilangan lebih banyak lagi simpati dari kalangan ulama “mapan”.

Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak Muballig Islam di Jawa Tengah, sebagaimana syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak Muballigh di Sumatra Tengah.
Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang.

C. Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan

Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan uamt. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :

1. Tujuan Pendidikan

Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.

Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.

2. Materi pendidikan

Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
  • Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  • Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
  • Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.

3. Model Mengajar

Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
  1. Cara belajar-mengajar. Di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
  2. Bahan pelajaran. Di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
  3. Hubungan guru-murid.Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa. Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

DAFTAR PUSTAKA

Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1985
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta, Pustaka Setia, 2000.
Kamal, Musthafa Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam untuk Angkatan Muda Yogyakarta: Persatuan, 1975.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Syamsi Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam Kebangunan Islam, Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976.