Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar tersebut dapat dipandang dari berbagai aspek, dua diantaranya yaitu siswa dan guru. Dari segi siswa misalnya, belajar dialami sebagai suatu proses, yakni proses mental dalam menghadapi bahan belajar yang berupa keadaan, hewan, tumbuhan, manusia, dan bahan yang telah terhimpun dalam buku pelajaran. Dari segi guru proses belajar tampak sebagai perilaku belajar tentang sesuatu hal. 

Aspek-Aspek Dalam Pembelajaran

Belajar merupakan proses internal yang kompleks, melibatkan ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, begitu juga dengan perkembangan sosial anak. Seyogyanya guru dapat mengatur keempat hal tersebut dalam hal acara pembelajaran yang sesuai dengan fase-fase belajar dan hasil belajar yang dikehendaki, sehingga tujuan dari pembelajaran itu sendiri dapat tercapai dengan hasil yang maksimal.

Keempat aspek tersebut menjadi rumusan tujuan instruksional, aspek-aspek pembelajaran tersebut menurut Bloom dan Krathwohl sebagaimana dikutip oleh Moh. Uzer Usman dalam bukunya Menjadi guru professional telah menjadi suatu klasifikasi tujuan yang memungkinkan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini disadari oleh asumsi bahwa hasil belajar dapat terlihat dari keempat aspek tersebut (aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan perkembangan sosial).

A. Aspek Pembelajaran Kognitif

Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kognisi adalah proses pengenalan dan penafsiran oleh seseorang; kegiatan memperoleh pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kewajiban yang  berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi dan efeksi yang bertalian dengan ranah rasa.

Ranah psikologi siswa yang paling utama adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini merupakan sumber sekaligus pengendali dari ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah Psikomotor (karsa).  Jadi, tidak seperti organ-organ tubuh lainnya, organ otak sebagai markas fungsi kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga menjadi menara pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan. Sebagai menara pengontrol, otak selalu bekerja siang dan malam. Adanya kerusakan pada otak maka akan mengakibatkan kehilangan fungsi kognitif, dan tanpa adanya fungsi kognitif maka martabat manusia tidak akan jauh beda dengan hewan.

Demikian halnya orang yang menyalahgunakan kelebihan kemampuan otak untuk memuaskan hawa nafsunya, martabat orang tersebut tak akan lebh rendah dari hewan atau mungkin lebih rendah dari hewan itu sendiri. Kelompok orang yang bermartabat lebih rendah seperti ini dilukiskan dalam surah Alfurqan: 44 :
“ Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). ”

Selanjutnya perkembangan dan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu itu menurut Loree, dapat dideskripsikan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif dan kualitatif.

a. Perkembangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif

Perkembangan fungsi-fungsi kognitif seseorang dapat diketahui dengan melakukan pengukuran tes intelegensia melalui hasil studi longitudialnya Bloom, bahwa dengan berpatokan kepada hasil tes IQ pada usia 17 tahun dari sekelompok subyek, maka kita dapat membandingkan dengan hasil-hasil test IQ dari masa-masa sebelumnya yang ditempuh oleh subyek yang sama. Berikut adalah persentase perkembangan taraf kematangan dan kesempurnaan subyek tersebut sebagai berikut:

Usia        1 tahun         berkembang sampai sekitar 20%-nya
Usia          4 tahun           sekitar 50%-nya
Usia          8 tahun           sekitar 80%-nya
Usia         13 tahun          sekitar 92%-nya

b. Perkembangan perilaku kognitif secara kualitatif

Piaget membagi proses perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu ke dalam empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda. Tahap perkembangan kognitif itu sebagai berikut:
  1. Sensorimotor period (0,0 – 22,0). Periode ini ditandai oleh penggunaan sensorimotorik yang intensif terhadap dunia sekitarnya. Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang objek, kontrol skema, kerangka berfikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab-akibat.
  2. Preoperational Period (2,0 – 7,0). Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan yaitu: Preconceptual (2,0 – 4,0) dan intuitive (4,0 – 7,0). Periode preconceptual ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal khusus. Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama).
  3. Concrete operational period (7,0 – 11,0 / 12,0). Dalam periode ini anak mulai mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak ini ialah kemampuan anak dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkrit.
  4. Formal operational period (11,0 / 12,0 – 14,0 / 15,0). Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat kongkrit.
Tokoh lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam adalah Jerome Bruner, ia membagi proses perkembangan perilaku kognitif ke dalam tiga periode  ialah:
  1. Enactive stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami lingkungannya; tahap ini mirip dengan sensorimotor period-nya Piaget.
  2. Iconic stage, yang mendekati kepada preoerational period-nya Piaget.
  3. Symbolic age, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational period-nya Piaget.
Dari beberapa proses perkembangan perilaku kognitif yang telah dideskripsikan oleh para tokoh di atas, dapat dipahami bahwa laju perkembangan intelegensia berlangsung sangat pesat pada masa remaja awal dan mencapai puncak perkembangan dicapai umumnya dipenghujung masa remaja akhir.

Sementara itu, Muh. Uzer Usman dalam bukunya Menjadi guru merdeka mengklasifikasikan tujuan kognitif atas enam bagian, yaitu sebagai berikut: 
  1. Ingatan / recall. Mengacu pada kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar.
  2. Pemahaman. Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi.aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat kemampuan berpikir yang rendah.
  3. Penerapan. Mengacu pada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan, prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.
  4. Analisis. Mengacu kepada kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktro penyebabnya, dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
  5. Sintesis. Mengacu pada kemampuan memadukan konsep atau komponenkomponen sehingga membentuk suatu pola srtuktur atau bentuk baru. Aspek ini memerlukan tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berpikir yang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya.
  6. Evaluasi. Mengacu pada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi.
Namun proses perkembangan perilaku kognitif tidak selamanya dapat berjalan mulus, karena ada beberapa faktor yang bisa menimbulkan gangguan kognitif seorang anak, diantaranya yang berhubungan dengan kelainannya sendiri dan kurangnya pengalaman akibat latar belakang anak berkelainan. Misalnya: cacat tubuh, tuli dan hambatan perkembangan tubuh membawa pengalamannya kurang bertambah, kurang diperkaya dari kebudayaan yang ada dilingkungannya, dalam keluarga yang diperhatikan atau bahkan terlalu dilindungi.

B. Aspek Pembelajaran Afektif

Menurut Haidar Putra Daulay dalam Pendidikan Islam mengatakan bahwa afektif adalah masalah yang berkenaan dengan emosi, berkenaan dengan ini terkait dengan suka, benci, simpati, antipati, dan lain sebagainya. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud afektif adalah: 
  • Berkenaan dengan perasaan
  • Keadaan perasaan yang memengaruhi keadaan penyakit (panyakit jiwa)
  • Gaya atau makna yang menunjukkan perasaan. 
Muh. Azer Usman membagi klasifikasi tujuan afektif ke dalam lima kategori yaitu:
  1. Penerimaan. Mengacu kepada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan dan memberikan respons terhadap stimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan hasil belajar terendah dalam domain afektif.
  2. Pemberian Respons. Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi tersangut secara aktif, menjadi peserta, dan tertarik.
  3. Penilaian. Mengacu pada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak, atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sikap dan apresiasi.
  4. Pengorganisasian. Mengacu pada penyatuan nilai. Sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nila internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup.
  5. Karakterisasi. Mengacu pada karakter dan gaya hidup seseorang. Nilai-nilai sangat berkembang dengan teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini bisa ada hubungannya dengan ketentuan pribadi, sosial, dan emosi siswa.

C. Aspek Pembelajaran Psikomotorik

Berbicara mengenai kemampuan psikomotorik, orang biasanya menganggap bahwa mencapai tujuan penguasaan keterampilan psilkomotorik jauh lebih sukar daripada mencapai tujuan kognitif. Sebagian guru mengira bahwa taktik dan strategi mengajarnya juga berlainan. Kedua asumsi ini jauh berlainan, karena walaupun secara penekanan berlainan, tetapi secara garis besar prosedurnya sama saja.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia psikomotorik berarti berhubungan dengan aktifitas fisik yang berkaitan dengan proses mental. Dalam ilmu psikologi, kata motor dapat dipahami sebagai segala keadaan yang meningkatkan atau menghasilkan stimulasi/rangsangan terhadap kegiatan organ-organ fisik. Kecakapan psikomotor seorang anak tidak terlepas dari kecakapan kognitif dan juga banyak terikat dengan kecakapan afektif. Karena keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap ranah perkembangan ranah psikomotorik. 

Banyak contoh yang membuktikan bahwa kecakapan kognitif itu berpengaruh besar terhadap berkembangnya kecakapan psikomotor. Siswa yang berprestasi baik dalam bidang pelajaran agama misalnya sudah tentu akan lebih rajin beribadah salat, puasa dan mengaji. Dia juga tidak akan segan-segan memberi pertolongan pada orang yang memerlukan. Sebab, ia merasa memberi bantuan itu adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan  yang berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman terhadao materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).

Dalam mengembangkan ranah psikomotorik seorang anak, ada empat faktor yang mendorong kelanjutan perkembangan motor skills anak yang juga memungkinkan campur tangan orangtua dan guru dalam mengarahkannya, yaitu:
  • Pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf. system adalah organ halus dalam tubuh yang terdiri atas struktur jaringan serabut syaraf yang sangat halus yang berpusat pada sistem jaringan syaraf yang ada di otak. Semakin baik perkembangan kemampuan sistem syaraf seorang anak, akan semakin baik dan beraneka ragam pula pola-pola tingkah laku yang dimilikinya.
  • Pertumbuhan otot-otot. Otot adalah jaringan sel-sel yang dapat berubah memanjang dan juga merupakan unit sel yang memiliki daya mengkerut. Peningkatan tegangan otot pada anak  dapat menimbulkan perubahan dan peningkatan aneka ragam kemampuan dan kekuatan jasmaninya. Perubahan ini tampak sangat jelas pada anak yang sehat dari tahun ke tahun dengan semakin banyaknya keterlibatan anak tersebut dalam permainan yang bermacam-macam atau dalam membuat kerajinan tengan yang semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya dari masa ke masa.
  • Perkembangan dan perubahan fungsi kelenjar-kelenjar endokrin. Kelenjar adalah alat tubuh yang menghasilkan cairan atau getah, seperti kelenjar keringat. Sedang kelenjar endokrin secara umum merupakan kelenjar dalam tubuh yang memproduksi hormon yang disalurkan ke seluruh bagian dalam tubuh melalui aliran darah. Perubahan fungsi kelenjar-kelenjar endokrin akan mengakibatkan berubahnya pola sikap dan tingkah laku seorang remaja terhadap lawan jenisnya. Dalam hal ini, orangtua dan guru seyogyanya bersikap antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku seksual yang tidak dikehendaki demi kelangsungan perkembangan siswa remaja yang menjadi tanggung jawabnya.
  • Perubahan struktur jasmani. Semakin meningkat usia anak akan semakin meningkat pula ukuran tinggi dan bobot serta proporsi bagian tubuh lainnya. Perubahan jasmani ini akan banyak berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan dan kecakapan motor skills anak. Namun, kemungkinan perbedaan hasil belajar psikomotor seorang siswa dengan siswa-siswa lainnya selalu ada, karena kapasitas ranah kognitif juga banyak berperan dalam menentukan kualitas dan kuantits prestasi-nya.
Di samping keempat faktor tersebut di atas, faktor-faktor lingkungan, alamiah sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta latihan dan kesempatan merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap proses dan produk perkembangan fisik dan perilaku psikomotorik.

D. Aspek Perkembangan Sosial

Secara potensial manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoom politicon), kata Plato. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain. Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula ia menyadari bahwa ia harus belajar apa yang semestinya ia perbuat seoerti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut sosialisasi. 

Perkembangan sosial, dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian dari perubahan yang berkesinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi makhluk sosial yang dewasa. Charlotte Buhler mengidentifikasikan perkembangan sosial dalam term kesadaran hubungan subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung secara berirama sebagai berikut:
  • Masa kanak-kanak awal (0,0 – 3,0) : subjektif
  • Masa krisis I (3,0 – 4,0) : anak-degil
  • Masa kanak-kanak akhir (4,0 – 6,0) : subjektif menuju objektif
  • Masa anak sekolah (6,0 – 12,0) : objektif
  • Masa krisis II (12,0 – 13,0) : pre-puber
  • Masa remaja awal (13,0 – 16,0) : subjektif menuju objektif
  • Masa remaja akhir (16,0 – 18,0) : objektif
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Widodo Supriyono., Psikologi belajar, Cet. II; PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2004
Davies, Ivor K., Pengelolaan Belajar, Cet. II; CV. Rajawali: Jakarta, 1991
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Cet. I; Kencana: Jakarta, 2004
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1988  
Makmun, Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan: Perangkat sistem pengajaran modul, (Cet. II; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 1998
Moh. Uzer Usman, Menjadi guru Professional, Edisi kedua Cet. XV; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2003
Syah, Muhibbin, Psikologi pendidikan dengan Pendekatan baru, Cet. XI; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2005
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Cet. II; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2003