A. Pengertian Poligami

Secara harfiyah, gami beraarti menikahi perempuan, poly berarti lebih sedangkan mono berarti satu. Andri memiliki arti menikahi laki-laki.

Secara istilah monogami menikahi satu istri, poligami berarti menikahi lebih dari satu istri temporer poliandri berarti menikahi lebih dari satu suami.

B. Poligami Berdasarkan Hukum Islam

Islam melihat poligami lebih membawa mudarat daripada manfaatnya, karena manusia itu sesuai keterangan asal fitrahnya (human nature) terdapat watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak terdapat akan mudah timbul dengan kadar tinggi seandainya hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami itu menjadi sumber konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.

Karena itu hukum asal dalam perkawinan sesuai keterangan asal Islam yaitu monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan tersinggung timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga mampu mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.

Bahkan, kalangan pengamat luar Islam (Islamisis) melihat dibolehkannya melakasanakan poligami ini menunjukkan bahwa Islam sangat menyalahkan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan suami istri. Poligami sesuai keterangan asal mereka, yaitu salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan (istri). 
Marilah kita perhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah monogami dalam surah an-Nisa ayat 2-3:
2. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangankamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangankamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, yaitu dosa yang besar.
3.Dan seandainya kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian seandainya kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu yaitu lebih dekat kepada tidak melaksanakan aniaya.

Ayat 2 dan 3 surah an-Nisa di atas berkaitan (ada relevansinya), sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar seandainya sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah. Sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang harapkan mengawini anak yatim tersebut, agarsi wali itu beritikad baik dan adil serta fair, yaterdapat si wali wajib menyerahkan* mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak mengawininya dengan maksud agar memeras dan merampas harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini sesuai keterangan Aisyah ra ketika ditanya oleh Urwah bin Zubair tentang* maksud ayat 3 surah an-Nisa tersebut.

Apabila wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa melaksanakan yatim terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Tetapi ia harus kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri samapai dengan empat, dengan kriteria* ia mampu melaksanakan adil terhadap istri-istrinya, maka ia selalu boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh melaksanakan zalim terhadap istri yang seorang.

Apabila ia masih takut pula kalau melaksanakan zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak ia kawin dengannya, tetapiia harusmencukupkan dirinya dengan budak wanitanya. 

Berdasarkan keterangan asal Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surah ini surah an-Nisa, maka masalah pokoknya yaitu mengingatkan kepada orang yang berpoligami agarberbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agaria tidak melaksanakan zalim terhadap keluarganya. Sedangkan sesuai keterangan asal Aisyah ra yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya yaitu masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini yaitu dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang harapkan dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian termampu pendapat lain lagi yaitu Al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini yaitu larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim kepada mencukupi kebutuhan istri-istrinya.

Berdasarkan keterangan asal Rasyid Ridha, pendapat Al-Razi terdapat lemah tetapiia melihat benar seandainya yang dimaksud dengan ayat 3 surah an-Nisa itu mencakup tiga masalah pokok yang masing-masing diajukan* oleh Ibnu Jabir, Muhammad Abduh, dan Al-Razi. Artinya dengan menggabungkan tiga pendapat terdapat di atas, maka maksud ayat tersebut yaitu unttuk meberantas/melarang tradisi zaman jahiliyah yang tidak manusiawi, yakni* wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan teknik* tidak sah, serta ia merintangi* anak yatimnya kawin dengan orang lain agaria tetap leluasa memakai* harta tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyah yang mengawini istri yang lebih dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam sesuai ayat ini.

C. Makna Adil Dalam Pandangan Tokoh-tokoh Islam

Apabila kita melihat kembali sejarah teologi-sosial poligami, nampak bahwa kegiatan itu yaitu tindakan yang diprioritaskan untuk menolong janda-janda dan anak-anak yatim yang kekurangan nasibnya. Hendaknya kita melihat pendapat Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa Al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah. Dalam bukunya, Muhammad Syahrur mencoba melakasanakan reinterpretasi terhadap surah an-Nisa ayat 3, sebagaimana yang umum dikerjakan oleh ulama-ulama tafsir maupun fiqih lainnya. Dia memulainya dengan menterjemahkan seluruh ayat terdapat secara etimologis. Menurutnya kata “qasthun” dan “adlun” memiliki dua makna yang saling bertentangan. Pertama kata “qasthun” mampu bermakna keadilan sesuai dengan surah al-Maidah ayat 42, al-Hujarat ayat 9, dan al-Mumtahanah ayat 8. Kedua, bermakna kezaliman dan dosa sesuai dengan makna surah al-Jin ayat 15. demikian yaitu kata “adlun” berarti istawa (sama); dan kedua, berarti a’wajaj (bengkok). Walaupun demikian, antara “adlun” dan “qisthun” termampu perbedaan makna. Apabila kata “qisthun” itu melaksanakan adil pada satu cabang, kata “adlun” melaksanakan adil kepada dua cabang secara seimbang. Memperhatikan pembicaraan Syahrur disinilah sebenarnya hakikat keadilan yang dimaksud.

Prinsip keadilan ini yang digaris bawahi Muhammad Abduh ketika dia memunculkan fatwa yang sangat menghebohkan agar ukuran zamannya. Fatwa Abduh yang dikeluarkan pada tahun 1298 H terdapat secara panjang lebar dikutip oleh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam bukunya yang sangat terkenal Hikmah Al Tasyri wa Falsafatuhu. Abduh menguraikanbahwa syariat Muhammad saw. Memang membolehkan laki-laki mengawini empat perempuan sekaligus, seandainya laki-laki terdapat mengetahui kemampuan dirinya untuk melaksanakan adil. Apabila tidak mampu melaksanakan adil, tidak dibolehkan beristri lebih dari satu. Dalam kegiatan ini Abduh mengutip “fain khiftum alla ta’dilu fawahidatan”. Berdasarkan keterangan asal Abduh, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur lokasi tinggal tangga dan kacaulah penghidupan keluarga. Padahal, tiang utama dalam mengatur kehidupan lokasi tinggal tangga yaitu adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.

Dari kutipan Al-Jurjawi atas Fatwa Muhammad Abduh sangat menekankan kepada keadilan kualitatif dan hakiki, seperti rasa sayang, cinta dan kasih, yang semuanya tidak mampu diukur dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam istilah yang dipakai oleh Al-Qur’an, yakni “adalah”, yang memang memiliki makna yang lebih kualitatif. Adapun keadilan memiliki sifat kuantitatif, yang sebenarnya lebih tepat agar kata “qisthun”. Keadilan kuantitatif ini memiliki sifat rentan karena sifatnya mudah berubah, contohnya* tentang pembagian rezeki secara merata diantara istri-istri yang dikawini, pembagian jatah hari (giliran) dan sebagainya.

Abdurrahman Al-Jaza’iri dalam buku Al-Fiqih ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah mengaku bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang salah satu istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban kepada orang yang berpoligami karena, sebagai manusia, orang tidak akan mampu melaksanakan adil dalam membagi kasih sayang dan cinta.

D. Hikmah Dibolehkannya Poligami Dalam Islam 

Mengenai hikmah diperbolehkan berpoligami dan keadaan terpaksa dengat kriteria berlaku adil antara lain yaitu sebagai berikut:

  • Untuk menemukan keturunan kepada suami yang subur dan istri mandul.
  • Untuk mengawal keutuhan keluarga tanpa memisahkan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
  • Untuk mengamankan suami yang hypersex dari tindakan zina dan krisis akhlak lainnya.
  • Untuk menyelamatkaan kaum wanita dari krisis akhlak yang bermukim di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih lebih dari kaum prianya, misalnya dampak* peperangan yang lumayan lama.
Kalau kita perhatikan dalam mengupas hikmah poligami, kebanyakannya lebih cendrung memihak kepada kepentingan laki-laki. Sebagai misal, bila tidak termampu poligami dimungkinkan akan merebaknya perzinaan, kemunduran moral dan sebagainya. Seorang pengarang Indonesia Said Thalib Al-Hamadani, figur Al-Irsyad, berasumsi bahwa poligami dibolehkan dalam Islam karena untuk kepentingan menggandakan umat. Jalan agar ini yaitu dengan teknik melakukan kawin. Menurutnya, Negara-negara maju lebih membutuhkan sumber daya manusia. Lebih lanjut, ia menciptakan pernyataan yang belum diperlihatkan oleh dunia kedokteran bahwa seorang laki-laki memiliki kemampuan yang lebih powerful dalam membuahkan keturunan dikomparasikan kaum perempuan dengan dalil siklus reproduksi laki-laki lebih panjang karena tidak mengenal menopause. Daripada seorang laki-laki melakasanakanpenyimpangan seksual kepada di samping istrinya, usahakan berpoligami.

Model pengartian monolitik terhadap permasalahan seperti ini memang tidak jarang terjadi. Seharusnya dalam memutuskan persoalan poligami terlebih dahulu harus melakasanakan pengamatan secara objektif, tidak selalu dari sudut pandang laki-laki, tetapi yaitu dari sudut pandang perempuan. Tidakkah kita beranggapan bahwa sebagai seorang muslim, perempuan yaitu memiliki kepentingan hati nurani. Kepentingan agar hidup tenang dengan suami yang dicintainya tanpa diributi oleh ketiga (wanita intim lain).

Salah satu dalil dibolehkannya berpoligami yakni untuk mengamankan suami yang hypersex dari tindakan zina dan krisis akhlak lainnya, ini yaitu jelas-jelas tidak qurani karena berusaha untuk mengamini nafsu laki-laki yang tidak terkendali. Yakni, seandainya kebutuhan seksual seoarang laki-laki dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harusterdapat dua. Barangkali, seandainya nafsunya lebih banyak daripada dua, maka ia harusterdapat tiga, dan terus samapai dia terdapat empat. Baru setelah empat, prinsip Al-Qur’an terkait pengendalian diri, kesederhanaan, dan kesetiaan kesudahannya dijalankan.

Karena pada tadinya istri diisyaratkan agar mengendalikan diri dan setia, kebaikan moral ini yaitu penting agar suami. Al-Qur’an jelas tidak menekankan pada sebuah tingkat yang tinggi dan beradab agar wanita sementara tidak mempedulikan laki-laki berinteraksi dengan yang lain pada tingkat yang sangat hina.

Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan kepada umatnya yaitu sebagai berikut:

  • Untuk kepentingan edukasi dan pengajaran agama. Istri Nabi beberapa (sembilan) orang itu mampu menjadi sumber informasi kepada umat Islam yang hendak mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama tentang masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan.
  • Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab untuk unik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harist kepada suku Bani Musthaliq. Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiah, seorang figur dari suku Bani Quraidzah dan Bani Nadhir.
  • Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telahlanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal setelahkembali dari hijrah Abessinia), Hafsah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka membutuhkan pelindung untuk mengayomi jiwa dan agamanya, dan penanggung agar memenuhi kebutuhan hidupnya. 
Jelaslah, bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kesenangan seks. Sebab bila motifnya demikian, pastinya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari bergitu banyak suku pada masa Nabi masih berusia muda. Tetapi kenyataannya yaitu Nabi pada umur 25 tahun kawin dengan Khadijah seorang janda berumur 40 tahun dan pasangan suami istri ini sekitar lebih tidak cukup 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dan bahagia serta menemukan keturunan : dua anak laki-laki, tetapi meninggal masih kecil, dan empat anak wanita. 

Setelah Khadijah wafat tahun ke 10 semenjak Nabi Muhammad diusung menjadi Nabi, barulah lantas Nabi memikirkan kawin lagi. Mula-mula kawin dengan Saudah binti Zum’ah, seorang janda, lantas disusul dengan istri-istrinya yang lain. Tetapi tidak termampu seorang istrinya pun yang dikawini dengan motif agar pemuasan nafsu seks atau karena harta kekayaannya, melainkan karena motif agama, politik, sosial dan kemanusiaan.