Sejarah Islam Nusantara merupakan kajian yang sedikit sulit untuk mendapatkan informasi konkret, literatur, atau sumber-sumber sejarah tentang Islamisasi di nusantara. Sangat sulit untuk menentukan kapan dan di mana Islam pertama kali memasuki nusantara. Masalah di mana Islam pertama kali masuk. Ada yang bilang di Jawa, dan ada yang bilang di Barus. Ada dugaan bahwa sejarah Nusantara sengaja dikaburkan oleh para penjajah yang membangun kekuasaan mereka sejak Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511 M, kemudian memerintah Ternate pada tahun 1522. 

Sejarah Masuknya Islam di Nusantara

Jika kita mencoba untuk menghitung sambil melihat awal dari kendali Portugis atas wilayah Malaka, kemudian Belanda dan Jepang berturut-turut-Menurut kolonisasi nusantara hingga 1945, maka wilayah kami telah dijajah sekitar 434 tahun. Seperti apa yang dinyatakan oleh Prof. S. Muhammad Naimar (India) dalam sebuah ceramah yang dikutip oleh Yusuf Abdullah Puar "bahwa bukti dari tangan pertama tentang bagaimana sebenarnya Islam di pulau-pulau ini tidak mungkin diperoleh, tetapi bukti luar menunjukkan bahwa islamisasi di wilayah tersebut Ini telah terjadi sejak awal Islam, mungkin sejak Nabi Muhammad masih hidup.

Ada beberapa versi masuknya Islam di Nusantara, termasuk:
  1. Pendapat pertama dipelopori oleh para sarjana orientalis, termasuk; Snouck Hugronje berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 dari Gujarat (bukan langsung dari Arab) dengan bukti penemuan Muslim pertama Sultan Malik al-Shaleh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai dari Gujarat.
  2. Pendapat kedua diungkapkan oleh para cendekiawan Muslim termasuk Prof. Hamka, yang berpendapat bahwa Islam telah tiba di Indonesia pada abad pertama Hijriah (awal abad ke-7 hingga abad ke-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang sibuk dan internasional sudah mulai lama. sebelum abad ke-13 melalui Selat Malaka yang menghubungkan ke Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Pendapat lain menyatakan bahwa kemungkinan masuknya Islam di Indonesia bersumber dari laporan Cina tentang permukiman Arab di Sumatra utara yang dikepalai oleh orang Arab pada 55 H atau 672 M, hal tersebut dikemukakan oleh Prof. Naquib al-Attas. Juned Pariduri juga percaya bahwa di BarusTapanuli sebuah makam diperoleh. tertulis tahun Haa-Miin yang berarti 48 H atau 670 M Dengan demikian, Islam telah memasuki wilayah itu pada 670 M.
  3. Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya, memang benar bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad Hijriah pertama atau abad ke 7 dan 8 M, tetapi hanya dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan dalam skala besar dan memiliki kekuatan politik pada abad ke-13 yang ditandai. oleh pembentukan kerajaan Samudra Pasai. Ini terjadi karena aliran kebalikan kehancuran Baghdad di ibukota Abbasiyah oleh Hulagu Khan, dan Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Dari beberapa pendapat di atas kita mendapatkan deskripsi yang cukup bahwa Islam memasuki kepulauan pada 670 M dengan penemuan makam Islam di Tapanuli, meskipun tidak pasti apakah pada waktu itu komunitas Muslim yang luas dibentuk atau tidak. Lebih jauh lagi, kita masih meragukan kebenaran informasi oleh para orentalis bahwa Islam memasuki kepulauan pada abad ke-13 karena pada saat itu kerajaan Islam didirikan. Ini berarti bahwa Islam telah berkembang dan pada saat itu misi Kristenisasi para penjajah juga sedang berlangsung, sehingga ada kemungkinan mengaburkan sejarah Islam di kepulauan itu.

Seiring dengan beberapa pendapat di atas bahwa Islam telah memasuki Indonesia pada abad Hijriah Pertama atau abad ke-7 M tetapi hanya berkembang pada abad ke-13 M. Ekspansi Islam menandai berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak dan Samudra Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan pada tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di wilayah pesisir Sumatera Utara dan melalui arteri perdagangan di Malaka, Islam kemudian menyebar ke Jawa dan selanjutnya ke Indonesia Timur.

Dalam hal ini, menurut Mukti Ali, yang sebenarnya menyiarkan Islam di Indonesia, selain memegang ajaran Islam, mudah dipahami juga karena kemampuan pengemban Islam untuk membuat konsesi terhadap adat dan kehidupan yang ada di masyarakat.
Sementara Prof. Mahmud Yunus memberi lebih banyak detail tentang faktor-faktor mengapa Islam bisa menyebar dengan cepat ke seluruh Indonesia pada awalnya, yaitu:
Agama Islam tidak sempit dan tidak sulit untuk menjalankan aturannya, bahkan mudah dipatuhi oleh semua kelas kemanusiaan, bahkan untuk masuk Islam cukup untuk mengatakan hanya dua kalimat syahadat.

Beberapa tugas dan kewajiban Islam Penyiaran Islam dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan cara terbaik. Penyiaran Islam dilakukan dengan kata-kata yang mudah dipahami oleh publik.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan proses mudah islamisasi di Nusantara, yang pada gilirannya akan menjadi agama utama dan mayoritas di negeri ini. Tetapi secara umum, Islam masuk dan berkembang di kepulauan ini melalui kontak dagang, pernikahan, pengkhotbah dakwah. Tentang proses pengembangan masyarakat Islam pertama melalui berbagai kontak. Misalnya, membeli dan menjual, kontak perkawinan dan kontak misionaris secara langsung, baik secara individu maupun kolektif. Dari sana semacam proses pendidikan dan pengajaran Islam dimulai, meskipun itu sangat sederhana. Subjek pertama adalah kalimat Shahada. Karena bagi mereka yang memiliki syahadat berarti seseorang telah menjadi seorang Muslim.

Dengan demikian kita tahu bahwa ternyata persyaratan untuk memeluk Islam sangat praktis, dan dari sana juga pendidikan bergerak, dari yang paling mudah ke yang praktis. Sehingga banyak orang yang tertarik masuk Islam karena tidak membebani ajaran mereka dan sedikit tugas dan kewajiban mereka seperti yang dijelaskan di atas.

Sistem Pendidikan Islam di Awal Masuknya Islam di Nusantara

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan Islam dimulai dengan konversi ke Islam di Nusantara. Pada awal perkembangannya, pendidikan Islam dilakukan secara informal oleh pedagang Muslim, sementara perdagangan mereka menyiarkan Islam. Setiap kesempatan mereka berikan, pendidikan dan ajaran Islam. Pendidikan dan ajaran Islam yang mereka berikan melalui perbuatan dalam bentuk teladan. Mereka sopan, ramah, tulus, dapat dipercaya dan dapat dipercaya, mencintai dan murah hati, jujur dan adil, menepati janji dan menghormati adat istiadat yang ada, yang menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk masuk Islam.

Dengan demikian para pendukung agama Islam pada waktu itu melakukan penyiaran Islam kapan saja, di mana saja, dan siapa saja di setiap kesempatan. Di situlah Islam diajarkan, dan mendidik mereka adalah cara yang mudah, sehingga orang juga akan dengan mudah menerima dan melakukannya. Sementara itu, di hampir setiap desa yang dihuni oleh Muslim, mereka mendirikan masjid untuk melakukan sholat Jum'at, dan juga di setiap desa mereka dibangun surau atau langgar untuk mempelajari Alquran dan di mana untuk sholat lima kali sehari. Pendidikan agama Islam dilanggar menjadi sekolah dasar, dimulai dengan mempelajari huruf Arab (hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan meniru apa yang telah dibaca dari Al-Qur'an. Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang perwira bernama 'amil, modin atau lebai (di Sumatra) yang memiliki tugas ganda, selain memberikan doa selama upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan di pagi atau sore hari, satu hingga dua jam. Pelajarannya memakan waktu beberapa bulan, tetapi umumnya sekitar satu tahun. Anak-anak duduk bersila dan belum menggunakan bangku dan meja. Sang guru juga duduk besila. Mereka belajar dari guru satu per satu dan belum berkelas seperti sekarang. Pelajaran awal adalah belajar huruf al-QurÊ»an atau hijaiyyah. 

Setelah pandai membaca huruf hijaiyyah, kemudian membaca al-Qu`an. Sementara yang diajarkan adalah tata cara sholat, masalah iman yang lebih dikenal dengan sifat dua puluh dan moralitas yang diajarkan melalui kisah-kisah seperti nabi, orang-orang saleh sehingga anak-anak diharapkan mencontohnya.

Satu hal yang belum diterapkan dalam pengajaran al-Qurʻan di langgar dan kelemahannya adalah tidak diajarkannya menulis huruf al-Qurʻan (huraf arab), sehingga yang ingin Anda capai hanya membaca sendiri. Namun menurut metode baru dalam mengajar belajar membaca, pelajaran menulis harus diadakan, seperti kasus yang sekarang dikembangkan menggunakan metode Iqra, di mana tidak hanya keterampilan membaca ditekankan, tetapi juga penguasaan anak diperlukan dalam menulis.

Studi Al-Qur'an tentang pendidikan langgar dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
  1. Tingkat rendah; adalah tingkat pemula, yang mulai mengenali surat-surat Alquran sampai mereka dapat membacanya diadakan di setiap desa, dan anak-anak hanya belajar di malam dan pagi hari setelah sholat subuh.
  2. Tingkat di atas, pelajaran selain di atas, ditambah dengan pelajaran dalam lagu, qasidah, barazanji, tajwid dan mempelajari buku perdukunan.
Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar siswa dapat membaca Alquran secara ritmis dan baik, dan tidak merasa perlu memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya terbatas sehingga anak-anak dapat membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan memahami isi dan makna Alquran. Dalam menyelenggarakan pendidikan, siswa tidak dikenai biaya sekolah, tetapi tergantung pada kemauan orang tua siswa yang dapat memberikan tanda mata dalam bentuk benda atau uang sesuai dengan kemampuannya. Hubungan antara siswa dan guru dalam pelanggaran pendidikan terus berlanjut meskipun siswa kemudian melanjutkan studi mereka ke lembaga pendidikan tinggi. Mengenai metode penyampaian materi dalam pendidikan langgar, ia menggunakan dua sistem, yaitu sistem bersorak dan sistem halaqah.

Memang, dalam bentuk awal, pendidikan agama Islam di Surau atau dilanggar atau di masjid masih sangat sederhana. Modal utama mereka hanyalah semangat penyiaran agama bagi mereka yang sudah memiliki pengetahuan agama, dan semangat belajar untuk anak-anak. Yang paling penting bagi guru agama adalah bisa memberikan ilmunya kepada siapa pun, terutama kepada anak-anak.

Sistem Pendidikan Islam di Kerajaan Islam Awal

Masa kerajaan adalah salah satu periode sejarah pendidikan Islam di Indonesia, karena sebagai kelahiran Kerajaan Islam disertai dengan berbagai kebijakan penguasanya pada saat itu, sangat mewarnai sejarah Islam di Indonesia, apalagi agama Islam itu juga digunakan sebagai agama resmi Negara / Kerajaan pada saat itu. Untuk alasan ini, ketika kita berbicara tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tentu saja kita tidak dapat mengesampingkan keadaan Islam itu sendiri selama kerajaan Islam.

Berikut ini akan diungkapkan oleh beberapa kerajaan Islam di Indonesia, dan bagaimana peran mereka dalam pendidikan Islam dan propaganda Islam tentunya.

1. Kerajaan Islam di Aceh

Terdapat beberapa kerjaan islam di aceh yang merupakan tonggak awal sejarah perkembangan islam di nusantara.

a. Kerajaan Samudra Pasai

Para ahli sepakat bahwa agama Islam telah memasuki Indonesia (terutama Sumatra) sejak abad ke 7 atau 8 M, walaupun ketentuan mengenai tahun yang tepat ada sedikit perbedaan. Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya al-Malik Ibrahim bin Mahdum. Namun ada catatan lain yang menyatakan bahwa kerajaan Islam pertama adalah kerajaan Perlak.
Mengenai perhatian pemerintah terhadap pendidikan Islam pada waktu itu, menurut Ibnu Batutah (ketika mengunjungi kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345 M) mengungkapkan bahwa pada masa pemerintahan Malik az-Zahir, ia sangat terkesan melihat di mana raja sangat saleh dan juga menaruh perhatian besar pada pengetahuan agama, dengan mengikuti Sekolah Syafi'i dan mempraktikkan gaya hidup sederhana.
Dia juga dikabarkan mengikuti raja mengadan khalaqah. Setelah shalat tengah hari sampai Ashar. Pernyataan itu diduga kerajaan Samudra Pasai ketika sudah menjadi pusat agama Islam dan mengumpulkan para sarjana dari berbagai negara Islam untuk membahas masalah agama dan duniawi pada saat yang sama.
Sistem pendidikan Islam yang berlaku di kerajaan Samudera Pasai, yaitu:
  1. Bahan untuk pendidikan agama dan pengajaran di bidang Syariah adalah sekolah fiqhi Syafi'i.
  2. Sistem pendidikan secara informal dalam bentuk majelis ta'lim dan halaqah.
  3. Tokoh pemerintahan dan merangkap sebagai pemimpin agama.
  4. Biaya pendidikan agama berasal dari Negara.
Setelah kerajaan Samudra Pasai mengalami kemunduran dalam politik, tradisi pendidikan agama Islam berlanjut. Samudra Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, meskipun tidak memiliki pengaruh politik lagi.

b. Kerajaan Perlak

Kerajaan Perlak adalah salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Beberapa bahkan menyatakan lebih awal dari kerajaan Samudera Pasai, tetapi kurangnya bukti yang valid dan data literatur yang memperkuat pendapat ini. Yang jelas Perlak adalah daerah yang sangat strategis terletak di Selat Pantai Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu. Berdasarkan faktor-faktor ini, Islam mudah dilacak di Perlak tanpa gejolak sosial dengan penduduk asli. Berita perjalanan Marco Polo, seorang Italia yang bepergian ke seluruh dunia, berhenti di Perlak pada tahun 1292 M. Ia menjelaskan bahwa ibu kota Perlak dipenuhi oleh para pedagang Muslim dari Timur Tengah, Persia, dan India, yang pada saat yang sama melakukan tugas-tugas misionaris.

c. Kerajaan Aceh Darussalam

Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada 12 Juli 916 h (1511 M) menyatakan perang melawan buta huruf dan buta huruf ilmiah. Ini telah dipalsukan sejak berabad-abad yang lalu, berdasarkan pendidikan dan pengetahuan Islam. Di bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar mendapat perhatian. Pada saat itu ada lembaga-lembaga Negara yang ditugaskan untuk pendidikan dan sains, termasuk:
  1. Balai Seutia Hukama (lembaga pengembangan ilmiah).
  2. Balai seutia Ulama (lembaga pendidikan dan pengajaran).
  3. Asosiasi Jamaah Ulama Balai Jamaah (lembaga pendidikan dan studi pendidikan).
Tingkat pendidikan yang tersedia adalah sebagai berikut:
  1. Meunasah (madrasah); berfungsi sebagai sekolah dasar, materi yang diajarkan yaitu; menulis dan membaca huruf-huruf Arab, pengetahuan agama, bahasa Melayu, moral Islam dan sejarah.
  2. Kulit; Level Madrasah Tsanawiyah, pokok bahasannya adalah; Bahasa Arab, Ilmu Bumi, Sejarah, Menghitung, Akhlak, Fiqhi, dan lainnya.
  3. Dayah; Tingkat Madrasah Aliyah, pokok bahasannya adalah; Fiqhi, Arab, Tauhid, Tasawwuf / Akhlak, Ilmu Bumi, Sejarah / Administrasi Negara, Ilmu Pasti dan Faraid.
  4. Dayah Teuku Cik; setara dengan perguruan tinggi atau akademi, subjeknya adalah; Fiqhi, Tafsir, Hadits, Tauhid (pengetahuan Kalam), Tasawwuf, Ilmu Bumi, Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah / Administrasi Negara, Mantiq, Ilmu Falaq dan Filsafat.
Dari beberapa jenjang pendidikan di atas, sebagian besar diadakan di masjid sebagai tempat berbagai kegiatan umat. Dengan demikian, sangat jelas bahwa di kerajaan Aceh Darussalam, sains benar-benar berkembang pesat dan mampu menghasilkan cendekiawan dan cendekiawan Islam yang terkenal baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sehingga siswa dari luar datang untuk belajar di Aceh Darussalam. Sehingga menjadi pusat pengembangan sains dan budaya.

2. Kerajaan Islam Demak

Para sejarawan tampaknya tidak setuju tentang awal berdirinya kerajaan Demak. Beberapa ahli berpendapat bahwa kerajaan Demak didirikan pada 1478 M, pendapat ini didasarkan pada setelah jatuhnya kerajaan Majapahit, beberapa yang lain berpendapat bahwa kerajaan Demak didirikan pada 1518 M. Ini didasarkan pada tahun yang menjadi akhir dari masa pemerintahan Raja Air Brawijaya VII mendapat invasi Raden Fatah dari Demak.

Kehadiran kerajaan Islam Demak dilihat oleh masyarakat Majapahit sebagai cahaya baru yang membawa harapan. Kerajaan Islam diharapkan sebagai kekuatan baru yang akan menghilangkan semua bentuk penderitaan secara fisik dan mental dan membawa kemakmuran. Raja Majapahit sudah mengenal Islam jauh sebelum kerajaan Demak didirikan. Bahkan keluarga Raja Brawijaya sendiri mengenal Islam melalui Cempa yang selalu ramah dan damai.

Dengan berdirinya kerajaan Islam Demak, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa, penyiaran agama Islam menjadi lebih luas, pendidikan dan pengajaran Islam tumbuh lebih maju. Dengan kondisi ini, target pendidikan Islam dan propaganda termasuk pemerintah dan masyarakat umum. Dengan kebijakan para wali penyiaran agama dan memasukkan unsur-unsur pendidikan pengajaran Islam di semua cabang budaya nasional Indonesia, sangat menggembirakan, sehingga agama Islam dapat menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia.

3. Kerajaan Islam Mataram

Selama kerajaan Islam Mataram pada tahun 1586 M, terutama ketika Sultan Agung berkuasa, ada beberapa perubahan. Seperti mempromosikan pertanian, perdagangan luar negeri dan mengadaptasi budaya lama Hinduisme dengan budaya Islam.
Keberadaan upaya dan kebijakan Sultan Agung selama masa pemerintahannya, yaitu:
  1. Gerebek disesuaikan dengan Idul Fitri dan ulang tahun Nabi. Sejak itu telah dikenal untuk Gerebek Poso (puasa) dan Gerebek Mulud.
  2. Gamelan Sekaten yang hanya dibunyikan saat penggerebekan Mulud, atas permintaan Sultan Agung, dipukuli di halaman sebuah masjid besar.
  3. Penghitungan Saka yang digunakan di Indonesia
Berdasarkan hitungan perjalanan matahari, berbeda dengan tahun Hijriah berdasarkan perjalanan bulan, maka pada tahun 1633 M atas perintah Sultan Agung, tahun Saka yang memiliki 1.555 saka Periode, tidak lagi ditambahkan ke hitungan matahari, tetapi dengan hitungan perjalanan bulan, menurut tahun Hijriah. Tahun baru yang diatur disebut tahun Jawa, dan sampai sekarang masih digunakan.

Demikian pula, pendidikan telah mendapat perhatian sedemikian rupa, seakan tertanam dalam semacam kesadaran berpikir pada saat itu. Meskipun tidak ada undang-undang pendidikan wajib, anak-anak usia sekolah tampaknya harus belajar di tempat studi di desa mereka atas kehendak orang tua mereka. Pada saat itu, hampir setiap desa diadakan tempat studi Alquran, yang diajarkan huruf hijaiyyah, membaca Alquran, barazanji, dasar dan dasar pengetahuan agama. Selain mempelajari Alquran dan pelajaran lainnya, ada juga tempat belajar buku, bagi siswa yang sudah membaca Al-Qur'an. Tempat belajar disebut pesantren. Para siswa harus tinggal di asrama yang disebut pondok, dekat sekolah asrama.

Sementara itu, di beberapa kabupaten, pesantren besar diadakan, yang dilengkapi dengan gubuk mereka, untuk kelanjutan santri yang telah menyelesaikan pendidikan mereka di pesantren desa. Pesantren ini adalah lembaga pendidikan tinggi, di mana materi pelajaran meliputi; fiqhi, interpretasi, hadits, kalam sains, tasawwuf dan sebagainya. Selain pesantren besar, semacam sekolah asrama Takhassus juga diadakan, yang mengajarkan satu cabang pengetahuan agama dengan cara yang mendalam atau khusus.
Dengan demikian selama kerajaan Islam di Mataram, pendidikan Islam mendapat perhatian besar dari pemerintah dan masyarakat sehingga pendidikan Islam mengalami perkembangan pesat.

4. Kerajaan Islam Sulawesi Selatan

Kerajaan terbesar setelah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah Kerajaan Gowa, yang terletak di Sulawesi Selatan. Islam mulai masuk dan berkembang di Sulawesi Selatan pada 1605 AD atau 1015 H di bawah oleh pedagang dari Surabaya dan Melayu dari Sumatra. Pada tahun itu raja Gowa dan mangkubumi-nya (Raja Tallo) menyatakan diri sebagai pengikut Islam. Raja Tallo, kerajaan Gowa pertama yang memeluk Islam, memiliki gelar "Abdullah Awwalul Islam", sementara raja berikut Gowa kemudian diberi gelar "Sultan", di samping gelar dan nama diri yang sudah mereka miliki. Pada 1607 semua orang dari kerajaan Makassar (Gowa) telah memeluk Islam.

Sedangkan untuk proses pendidikan Islam di Sulawesi Selatan, pada periode awal pembelajaran Alquran dibacakan dan pelaksanaan ibadah, terutama sholat lima waktu sehari. Jika dilihat dari segi materi, dibagi menjadi dua tahap yaitu;

a. Tahap pembacaan Alquran

Melalui tahap-tahap studi Alquran seperti yang biasanya diajarkan huruf Hijaiyyah dengan mengeja huruf demi huruf (dalam bahasa Bugis disebut "makkalepu", selain itu juga diajarkan bagaimana cara Thaharah, wudhu, sholat fardu dan sholat pendek.

b. Tahap studi buku

Tahapan ini disebut "mangaji kitta`" sebagai kelanjutan dari studi Alquran ini yaitu para siswa menerima pelajaran dari pendeta / guru sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki oleh guru, seperti ilmu fiqhi, tauhid dan ilmu agama lainnya. Sistem pengajaran tradisional seperti umumnya berlaku di pesantren di daerah lain di Indonesia.

Pesantren pertama di Sulawesi Selatan adalah pesantren di Watampone yang didirikan oleh Petta Yusuf, seorang sarjana yang berhasil mempelajari agama di Mekah. Pesantren selanjutnya adalah pesantren Timurung yang dibina oleh KH. Tjambang. Pesantren kemudian berkembang di beberapa daerah lain, termasuk pesantren di Pulau Salemo (Pangkep) yang dipimpin oleh KH. Abdullah, pondok pesantren As'adiyah (Wajo) yang dipimpin oleh KH. Pesantren Muhammad As'ad.dan Mangkoso (Barru) dipimpin oleh KH. Abdurrahman Ambo Dalle.

Dari sini dapat dilihat bagaimana perkembangan pendidikan agama Islam di Sulawesi Selatan pada hari-hari awal masuknya Islam di daerah ini. Selain pendirian beberapa pesantren, beberapa di antaranya masih bertahan hingga saat ini. Tetapi perkembangan ini tidak terlepas dari pengaruh para penguasa kerajaan Islam di Sulawesi pada waktu itu yang memberikan perhatian penuh pada pengembangan pendidikan Islam.

5. Kerajaan Islam Banjarmasin

Kerajaan Islam Banjarmasin didirikan pada 1526 M, di bawah kepemimpinan Sultan Suriansyah. Di mana perkembangan Islam pada waktu itu berkembang, masjid-masjid dibangun di hampir setiap desa. Sistem bacaan di pesantren Banjarmasin, tidak berbeda dengan sistem membaca buku di pesantren Jawa dan Sumatra, yaitu dengan menggunakan sistem halaqah, menerjemahkan buku-buku yang digunakan ke dalam bahasa lokal (Banjar), sementara siswa mendengarkan.

Sebelum kemunculan Syekh Muhammad Arsyad, di Banjarmasin juga ada seorang ulama besar, syekh Muhammad Nafis bin Al Banjary, yang menyusun buku tasawwuf "Addarunnafis". Seberapa tinggi iman dan ketebalan monoteisme pada waktu itu, dapat dibaca dalam karya Syaikh Nafis, sehingga bagi mereka yang tidak memiliki cukup monoteisme, buku ini pasti akan membahayakan iman dan monoteisme seseorang.
Demikianlah keadaan pendidikan Islam di kerajaan Islam, yang jelas saat ini Islam telah berkembang pesat dan sedemikian rupa. Meskipun hanya ada beberapa kerajaan Islam yang penulis kemukakan dalam artikel ini, itu tidak berarti meremehkan pentingnya kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Tapi mungkin kerajaan-kerajaan ini mampu mewakili kerajaan-kerajaan Islam ini.

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren di Nusantara

Sistem pendidikan pesantren adalah produk asli Indonesia. Beberapa pandangan dalam menelusuri sejarah kebangkitan pesantren. Menurut Mastuhu, pesantren telah ada dan dimulai sejak awal abad ke-13.

Nurcholish Madjid, menambahkan bahwa keberadaan pesantren sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang sebelumnya yaitu Hindu-Budha. Pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga-lembaga pra-Islam yang telah ada sejak masa pemerintahan Hindu-Budha, sehingga hanya perlu melanjutkannya melalui proses islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahan.

Dari sejarah kita juga tahu bahwa kehadiran kerajaan Umayyah membuat perkembangan sains yang pesat, sehingga anak-anak dari komunitas Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga di lembaga lain, seperti "kutab". Kutab ini dengan karakteristiknya yang khas, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang pada awalnya merupakan lembaga literasi dengan sistem halaqah (sistem wetongan).

Dari beberapa pandangan ini menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan dalam pandangan tentang sejarah kemunculan pondok pesantren, tetapi jika dikaitkan dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia, maka kita tahu bahwa Islam berada di bawah bimbingan pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat. Sementara pendidikan di Persia dan India banyak dipengaruhi oleh ajaran tarekat (tasawwuf). Pesantren itu sendiri mengikuti banyak kegiatan sufi seperti Tawadhu` qana`ah, kesabaran dan lainnya. Praktek keagamaan ini sebenarnya juga telah dipraktikkan oleh pendidik Hindu-Budha seperti membantu, dan sebagainya. Namun, ini tidak berarti bahwa pondok pesantren dilahirkan dengan niat untuk mengikuti sistem pendidikan yang sudah ada sebelumnya, baik di dunia Islam maupun bentuk pendidikan Hindu-Buddha.

Sistem pendidikan pesantren yang dimaksudkan untuk disajikan di sini terbatas pada sistem pendidikan sebelum pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Secara historis dapat dikatakan bahwa kelahiran sistem pendidikan ada sebelum periode pembaruan, hanya sistem yang digunakan diklasifikasikan sebagai tradisional dan sangat sederhana.
Menurut Martin, alasan utama pendirian pesantren adalah untuk menyebarkan Islam tradisional sebagaimana tercantum dalam buku-buku klasik yang ditulis berabad-abad lalu yang kemudian dikenal sebagai buku kuning. Namun, melihat pandangan ini maka muncul pertanyaan, kapan pesantren pertama muncul? Ini tidak mudah dijawab, karena di Jawa sendiri sebagai pusat pengembangan ini pada awalnya tidak ada cukup bukti. Baru diketahui bahwa sekitar abad ke-15 M, pesantren didirikan oleh para penyebar agama Islam yang dikenal sebagai Wali Songo, seperti di Ampel oleh Sunan Ampel dan di Giri oleh Sunan Giri.

Tujuan pembentukan pondok pesantren:
  1. Tujuan Umum. Membimbing siswa untuk menjadi manusia dengan kepribadian Islami yang dengan pengetahuan agama mereka ia mampu menjadi seorang pengkhotbah Muslim di komunitas sekitarnya melalui pengetahuan dan perbuatannya.
  2. Tujuan Khusus. Mempersiapkan siswa untuk menjadi orang yang saleh dalam pengetahuan agama yang diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan dan berlatih di masyarakat.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, sejarah perkembangan pesantren memiliki model pengajaran non-klasik, yaitu metode pengajaran yang basah dan selingkuh. Di Jawa Barat, metode ini disebut "Dam", sedangkan di Sumatera istilah Halaqah digunakan.

a. Metode Wetongan (Halaqah)

Metode di mana ada ulama yang membaca buku dalam waktu tertentu, sedangkan siswa membawa buku yang sama, kemudian siswa mendengarkan dan mendengarkan pembacaan ulama. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran kolektif pembacaan.

b. Metode Cerat

Metode dimana santri cukup baik untuk "sorog" (mengusulkan) sebuah buku untuk kiyai untuk dibaca sebelum dia. Kesalahan dalam bacaannya segera diperbaiki oleh pendeta itu. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individu.
Isi kurikulum pesantren difokuskan pada pengetahuan imu-agama, seperti bahasa Arab, fiqhi, hadits, komentar, ilmu kalam, tanggal (sejarah) dan sebagainya. Literatur ilmu-ilmu ini sebagaimana dinyatakan sebelumnya adalah buku-buku klasik yang disebut buku kuning dengan karakteristiknya sebagai berikut:
  1. Buku-buku itu dalam bahasa Arab.
  2. Secara umum, jangan gunakan tanda, beberapa bahkan tanpa tanda titik atau koma.
  3. Berisi ilmu yang cukup berbobot.
  4. Metode penulisan dianggap kuno dan relevansinya dengan sains kontemporer sering tampaknya relatif tidak ada.
  5. Biasanya dipelajari dan dipelajari di pesantren.
  6. Kertasnya berwarna kuning.
Posisi pesantren dalam hal ini merupakan kelanjutan dari pendidikan dasar yang berlangsung dalam pelanggaran, dengan mempelajari berbagai cabang ilmu agama yang berasal dari buku-buku kuning. Kegiatan belajar berlangsung pada waktu-waktu tertentu, yaitu setelah sholat subuh. Biasanya di pagi hari, para siswa melakukan pekerjaan rumah tangga, membersihkan halaman, mengolah sawah bersama dengan kyai, setelah itu mereka diberi pelajaran lain. Pada siang hari, para siswa beristirahat dan pada sore hari mereka kembali untuk belajar. Dalam menjalankan semua kegiatan ini, waktu sholat berjamaah selalu diperhatikan.

Jadi dapat dikatakan bahwa pesantren dari perspektif sejarah budaya adalah pusat trining yang secara otomatis menjadi pusat budaya Islam yang disalurkan atau dilembagakan oleh komunitas Islam itu sendiri yang, menurut definisi, tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Dan kehadiran pesantren di masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial. Dengan sifatnya yang fleksibel atau fleksibel, sejak awal keberadaannya, pesantren telah mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat dan memenuhi bimbingan masyarakat. Dengan kata lain, pesantren telah berhasil menjadikan dirinya pusat pengembangan Islam.

Dan pesantren terus tumbuh dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai upaya untuk mendidik, meningkatkan perdamaian dan membantu sosio-psikis bagi mereka dan bahkan menjadi kebanggaan bagi mereka yang terutama Muslim. Hanya saja selama periode kolonial Belanda, pesantren tidak dapat berkembang, karena Belanda seperti yang dikenal menguasai Belanda selama tiga setengah abad di mana selain menguasai politik, ekonomi dan militer juga mengembangkan misi untuk menyebarkan agama Kristen dan untuk Belanda, pesantren sangat bertentangan dengan gerakan Kristenisasi dan upaya untuk membodohi masyarakat, inilah yang membuat Belanda menekan pertumbuhan pesantren.
Sikap seperti itu, yang dilakukan oleh Belanda tidak hanya menghambat jalannya proses pendidikan pesantren. Namun alasan lain tampaknya mendasari mengapa pemerintah Belanda bertindak seperti itu. Karena pada era kolonial, dalam pemerintahan kolonial, muncul dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat Indonesia, yaitu menyediakan lembaga untuk menyediakan lembaga pendidikan yang didasarkan pada lembaga pendidikan tradisional, yaitu pesantren, atau mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di Barat pada saat itu.

Pelaksanaan pendidikan di pesantren ini, menurut pemerintah kolonial Belanda, terlalu jelek dan tidak memungkinkannya menjadi sekolah modern. Karena itu, mengambil alternatif kedua adalah mendirikan sekolah mereka sendiri yang tidak ada hubungannya dengan institusi pendidikan yang ada.

Tetapi ternyata dengan diadakannya pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda, hal itu tidak memberikan keleluasaan lebih bagi pendidikan pesantren yang dikelola oleh penduduk asli atau Muslim, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk memblokirnya, terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang dirasa cukup untuk menekan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia. Dengan berdirinya lembaga pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda, sejak itu telah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan pemerintah. Meski harus bersaing, pendidikan pesantren terus bertambah jumlahnya.

Persaingan yang terjadi bukan hanya aspek ideologi dan cita-cita pendidikan, tetapi juga muncul dalam bentuk perlawanan politik dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan Belanda pada abad ke-19, bersumber atau paling tidak mendapat dukungan penuh dari pesantren. Perang besar, seperti perang Diponegoro, perang Paderi, Perang Banjar, hingga perlawanan lokal yang tersebar di mana-mana, tokoh pesantren atau alumni memainkan peran utama.

Menyaksikan situasi seperti itu menyebabkan pemerintah Belanda mencurigai keberadaan pesantren. Sehingga pemerintah kolonial Belanda mulai mengawasi dan mengintervensi pendidikan pesantren, dan mengeluarkan Ordonansi 1905 yang berisi ketentuan untuk pengawasan sekolah yang hanya mengajarkan agama (pesantren), dan juga guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah lokal.

Gagasan pembaruan dalam Islam, termasuk pembaruan di bidang pendidikan mulai memasuki Indonesia, dan mulai memasuki dunia pesantren dan dunia pendidikan Islam secara umum dengan mengorientasikan ke arah pola pendidikan Barat, yaitu mengembangkan ilmu teknologi dan budaya serta menyempurnakan ajaran Islam. 
Perubahan semacam ini dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari motivasi yang tampaknya selalu melakukan reformasi dalam sistem pendidikan Islam yang masih penuh kekurangan. Berbagai kekurangan kemudian diupayakan untuk diselesaikan dengan mencoba mengadopsi sejumlah sistem pendidikan kolonial. Upaya-upaya ini terutama dilakukan sebagai tanggapan terhadap larangan yang diberlakukan oleh kelompok-kelompok tradisional pada sistem pendidikan barat.

Satu hal yang tidak dapat disangkal adalah bahwa ada banyak sistem pendidikan Islam modern di mana banyak elemen bersumber dari Barat, seperti penggunaan bangku sekolah, persiapan materi pelajaran, metodologi dan banyak lainnya. Semua hal ini masih berasal dari pengaruh sistem pendidikan kolonial Belanda. Macan tradisionalis tidak mau harus menyerah dengan sistem pendidikan kolonial yang diterapkan, karena mereka melihat keberhasilan yang telah dicapai. Contoh yang dapat dikutip dalam hal ini adalah sistem pendidikan sekolah umum di Minangkabau, yang walaupun awalnya menggunakan sistem pendidikan surau, tetapi setelah beberapa saat mengadopsi sistem pendidikan Barat, hasilnya mampu menempatkan anak-anak Minang dalam posisi strategis dalam intelektual. dan wacana politik selama kebangkitan nasional dan pada saat kemerdekaan.