Nama lengkap Al-Ghazali  ialah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Ghazali ath-Thus.Dia adalah seorang Persia asli Ia lahir di Thus, wilayah khurasan (sekarang Iran), pada tahun 450 H/1058 M, dan termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar Hujjatul’ Islam (bukti kebenaran Islam) dan Zainu’d-Din (Hiasan Agama).

A. Biografi  Al-Ghazali 

Ayahnya seorang sufi yang sangat wara’ yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wool. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil. Sebelum meninggal, ia menitipkan al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad pada seorang sufi lain untuk mendapat pendidikan dan bimbingan. Pada mulanya, Al-Ghazali belajar di tempat asalnya, Thus. Disini  ia belajar ilmu fiqh pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibn Muhammad Ar-Razakani. Setelah itu, ia belajar di Jurjan pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili, di mana ia menulis suatu ulasan dalam ilmu fiqh.

Al-Ghazali melanjutkan studinya di Naisabur pada seorang ulama terkenal, Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Di sini, ia belajar mazhab-mazhab fiqh, retorika, logika dan juga ilmu filsafat, sehingga melebihi kawan-kawannya. Dan setelah Imam Al-Juwaini  meninggal tahun 478 H. Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar untuk bertemu dengan Nizhamu’I-Muluk Perdana Menteri Bani Saljuk. Mu’askar adalah suatu lapangan luas di sebelah Kota Naisabur dimana didirikan barak-barak militer oleh Nizham Al-Muluk. Di sini, Al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan olehnya, terutama karena kemampuannya dalam mengalahkan para ulama setempat dalam munazharah.
Pemikiran Al-Gazali
Dengan bantuan Nizhamu’I-Mulk, Al-Ghazali pergi ke kota Baghdad pada tahun 484 H/1090 M.  Untuk mengajar pada madrasah Nizdhamiyah di kota itu. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik sekali, sehingga banyak para penuntut ilmu memadati halqahnya. Namanya menjadi lebih dikenal di kawasan itu karena berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar, ia mulai berpikir dan menulis dalam ilmu fiqh dan Al-Kalam dan juga kitab-kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran-aliran Batiniyyah, Ismailiyyah dan falsafah.

Akan tetapi, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M. Yakni krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifah, baik yang empiris maupun yang rasional. Krisis itu tidak lebih dari pada dua bulan. Setelah itu, ia memperdalam studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, falsafah serta menulis berbagai kitab dalam bidang falsafah, batiniyyah, fiqh dan lain-lain.

Namun, Al-Ghazali tidak merasa puas terhadap kerjanya itu, lalu ia meninggalkan kota Baghdad menuju Damaskus, di mana ia tinggal selama lebih kurang dua tahuh. Dalam masa ini, ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwah dan beribadah serta beri’tikaf di Mesjid kota ini, mengurung diri di menara mesjid pada waktu siang hari.

Kemudian ia berpindah ke Baitulmakdis untuk melanjutkan khalwah dan ibadahnya kepada Allah. Pada masa ini timbullah gerak hatinya untuk naik haji, lalu ia pergi ke Mekah dan selanjutnya ke Madinah untuk ziarah ke makam Nabi setelah lebih dulu ia menziarahi makam Nabi Ibrahim di Qudus.

Setelah lebih kurang sepuluh tahun mundar-mandir di Negeri Syam, Baitulmakdis dan Hijaz, maka pada tahun 499 H/1106 M. Al-Ghazali kembali ke Naisabur atas desakan Fakhrul Muluk, anak Nizhamul Muluk untuk mengajar di Madrasah Nizhamiyyah kota itu. Tidak diketahui berapa tahun ia mengajar di sana. Dan setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H / 1107 M., ia kembali ke rumah asalnya di Thus, di mana ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Qur’an, hadis serta mengajar. Di sebelah rumahnya, ia membangun madrasah untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat (Khaniqah) bagi para sufi. Pada hari Senin, 14 Jumadil Akhirah, tahun 505 H. (18 Desember, 1111 M), Imam Al-Ghazali berpulang ke rahmatullah di tempat asalnya, Thus dalam usia lima puluh lima tahun dengan meninggalkan sejumlah anak perempuan.

Apa yang menarik perhatian dalam sejarah hidup Al-Ghazali ialah kehausannya akan segala macam pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Tidak mengherankan kalau ia selamanya bersikap kritis, dan kelanjutannya ialah bahwa ia tidak percaya akan kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan yang axioma. Akan tetapi akhirnya, terhadap kedua macam pengetahuan ini pun, ia tidak mempercayainya. Ia menceritakan keragu-raguannya terhadap kedua macam pengetahuan itu dalam Al-Mungidz-nya sebagai berikut :

Keragu-raguan yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak lagi memberikan kepercayaan kepada perkara-perkara inderawi pula, bahkan keragu-raguan semakim mendalam, serta berkata : “Bagaimana perkara-perkara inderawi bisa dipercayai. Kita ambil penglihatan, sebagai indera yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkahnya diam tidak bergerak. Tetapi dengan percobaan dan penelitian, sesudah beberapa saat, engkau baru mengetahui bahwa bayangan itu sebenarnya bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, sehingga sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Ketika engkau melihat bintang, maka dikira dia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti-bukti matematika menunjukkan bahwa bintang tersebut lebih besar dari pada bumi.

Begitulah krisis yang menimpa Al-Ghazali seperti yang diceritakannya sendiri, baik yang bersifat psikologis maupun mental. Ia meragukan indera dan akal pikiran, serta berjalan tak menentu dalam keragu-raguannya itu, kemudian mencari obatnya, tetapi tiak pula didapatnya, karena keragu-raguan baru bisa hilang dengan suatu dalil, sedang dalil ini baru bisa dibuat dengan penyusunan alasan dan pikiran-pikiran yang aksioma, tetapi pikiran-pikiran aksioma inipun tidak pula dipercayainya.

krisis yang menimpannya hanya berlaku dua bulan saja dimana ia kemudian dapat sembuh dari penyakit tersebut, bukan karena suatu dalil melainkan karena cahaya Tuhan yang dilimpahkannya dalam hatinya. Cahaya inilah yang menjadi kunci segala pengetahuan bagi Al-Ghazali. Krisis tersebut merupakan penutup bagi salah satu dari fase kehidupannya, dan merupakan permulaan fase kehidupan yang lain, dimana tasawuf dan kehidupan rohani mendapat tempat yang seluas-luasnya pada dirinya, bahkan lapangan pikiran diganti dengan ilmu al-Mu’amalah wa al-Mukasyafah (Ilmu pergaulan dengan Tuhan, dan ilmu Pembuka Hati). Buku-buku al-Ghazali yang bercorak tasawuf dikarang pada fase kedua tersebut.

Timbullah pertanyaan, bagaimana corak tasawufnya. Tasawuf dengan sikapnya yang negatif dan asing dari semangat jiwa Islam, sebagaimana yang terlihat pada aliran-aliran tasawuf ekstrim, telah menimbulkan reaksi dan kemarahan aliran Islam Suni. Maka datanglah al-Ghazali untuk memasukkan tasawuf dalam pengakuan islam suni. Ia memasuki kehidupan tasawuf, tetapi ia tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf hulul (inkarnasi) atau tasawuf wihdat ul-wujud  (pantheisme), dan buku-buku yang dikaranganya juga tidak pula keluar dari jalan (sunnah) Islam yang benar.

Memang sebanarnya sukar untuk menyebutkan sikap al-Ghazali tersebut dengan tasawuf, dan boleh jadi nama yang tepat ialah subyektivismus (kepribadian), sebagaimana yang disebutkan oleh J. o bermann, Dalam bukunya derphilosophische and religioese subjectivismus Ghazali (Kepribadian Filsafat dan Agama pada al-Ghazali). Pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali didasarkan atas rasa yang memancarkan dalam hati, bagaikan sumber air jernih, bukan dari hasil penyelidikan akal, tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.

Al-Ghazali dengan tegas menentang orang- orang tasawuf yang meremehkan upacara-upacara agama. Sebaliknya ia menganggap upacara tersebut sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk mencapai kesempurnaan. Menjalankan upacara-upacara itu tidak hanya cukup dengan pekerjaan-pekerjaan lahiriah, melainkan dengan penuh pengertian akan makna-makna dan rahasianya yang tidak didapati dalam buku-buku fiqh.

Sebagai contoh ketika ia membicarakan arti bersuci (taharah), ia mengatakan bahwa thahara bukan hanya berarti membersihkan badan, dengan menuangkan air, sedang batinnya hancur dan terisi kotoran. Tetapi thahara mempunyai empat tingkatan yaitu:
  1. Membersihkan lahir (anggota-anggota badan) dari hadas dan kekotoran-kekotoran
  2. Membersihkan anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa
  3. Membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan hina
  4. Membersihkan pribadi dari selain allah        

B.  Konsep Ma’rifah Dalam Ajaran Tasawuf Al-Gazali

Istilah ma’rifah berasal dari kata “arafa-ya’rifu”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah dan melihatnya dengan penglihatan hati ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.

1. Pengertian  Ma’rifah

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf, antara lain : 
  • Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan :“Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”.
  • Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan : “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) …dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi….” 
  • Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan : “Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”
  • Imam Al-Gazali mengatakan : Ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturannya.
Keempat pendapat di atas semuanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Allah. Tapi tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf  dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
  • Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya. 
  • Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
  • Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
  • Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan bathin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-Nya.
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran Tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifah pada Dzatullah. Ma’rifah ini dalam Tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau panca indra, akan tetapi hati atau qalbu. Oleh karena itu dalam ajaran Tasawuf hati atau qalbu ini merupakan organ yang amat penting karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam ghaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifah pada Dzatullah.

Imam Al-Gazali berkata “kemulian dan kelebihan manusia yang mengatasi segala makhluk lainnya adalah kesiapannya untuk ma’rifah pada Allah yang di dunia merupakan keindahan kesempurnaan dan kebanggaannya dan di akhirat merupakan harta kekayaan dan simpanannya adapun alat untuk mencapai penghayatan tersebut adalah qalbu atau hati, maka hati itulah yang Alim terhadap Allah dan dia pula yang bertaqaruub (ibadah) pada Allah, dan hati  pula yang membuka tabir untuk menghayati Alam ghaib yang berada disisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, maka hati akan diterimah Allah apabila bersih dari apa yang selain Allah dan hati itu akan terdinding dari Allah apabila tertimbun apa yang selain Allah, maka hati yang disuruh yang mencari Tuhan, dan hati pula yang diperintah untuk ibadah padanya serta mendekatkan diri pada Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih dan celakalah bila hatinya kotor dan tersesat, bila manusia kenal padanya pasti kenal akan dirinya sendiri, dan bila kenal akan dirinya pasti kenal akan TuhanNya dan sebaliknya bila manusia tidak mengenal akan hatinya, pasti tak kenal pada dirinya dan bila tak kenal akan dirinya pasti tak kenal akan Tuhannya.

Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya hati dalam ajaran Tasawuf sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2. Syarat- Syarat Ma’rifah

Bila seseorang ingin mencapai kondisi ma’rifatullah maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : 
  • Harus memiliki nilai dan tekad serta kenyakinan ingin bertemu dengan Allah
  • Pembersihan jiwa melalui takhali dan tahalli[19]lalu tajalli  
  • Senantiasa mensyukuri Nikmat Allah
  • Dalam situasi apapun dia selalu mengingat pada Allah
  • Harus dpat mengenal diri pribadinya
  • Harus mengenal sifat-sifat Allah
  • Menyukai tafakkur
  • Mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa di kembalikan pada sumbernya yaitu sang penciptanya

3. Tahapan-Tahapan yang harus dilalui sufi (Maqam)

Perjalanan dari satu estafe ke estafe berikutnya adalah perjalanan yang berat dan sulit, oleh karenanya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang disebut Mujahadat.  Perjuangan itu meliputi aspek lahiriah  atau hal-hal yang bersifat pelaksanaan syariat dan muamalat maupun aspek bathiniyyah atau hakikat, mempertinggi mutu pengetahuan dan pengamalannya,melenyepkan sikap-sikap yang tidak baik da mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Adapun tahapan –tahapan yang harus dilalui adalah :

a. Taubat

Menurut sufi,yang menyebabkan seorang jauh dari Allah adalah karena dosa,sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha suci dan menyukai yang suci. Oleh karena itu apabila seseorang yang ingin mendekatkan diri kepadaNya maka ia harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat dalam pengertian taubat yang sebenar-benarnya.

b. Az-Zuhud

Menurut pandangan sufi, dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan  yang menimbulkan kerusakan dan dosa oleh karenanya seorang calon sufi harus lebih dulu zuhud atau asketis yaitu mengabaikan kehidupan yang bersifat duniawi. Buah zuhud sebenarnya yang deikehendaki adalah merasa cukup dengan ada adanyua untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup.

c. Al-Wara’

Pengertian dasar dari kata wara’ ada;ah menghindari apa saja yang tidak baik. Tapi sufi memiliki pengertian lain dimana mereka mengartikan Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang tidak jelas hukumnya baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan. Menurut Ibrahim bin Adham wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang masih diragukan.

d. Al-Faqr

Al-Faqr mempunyai interpretassi yang berbeda diantara para sufi tetapi bagaimana pun konotasi yang diberikan sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat didalamnya agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negative yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi merasa lebih baik tidak punya apa-apa atau merasa cukup dengan apa adanya.

e. As-Sabr

Sabar artinya konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah, berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan . Sabar erat kaitannya pada pengendalian diri, sikap, emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya maka sikap dan daya sabar akan tercipta.

f. Tawakkal  

Secara umum penegrtian tawakkal itu adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melakukan usaha. Kita tidakk boleh bersikap a posteriori terhadap rencana yang telah disusun tetapi harus bersikap menyerahkan  kepada Allah, kita hanya bias bererncana dan berusaha tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.     

g. Ar-Ridha’

Kata Dzu Nun al-Mishri ridha’ adalah menerima  tawakkal dengan kerelaan hati,tanda-tanda orang yang sudah ridha’ adalah mempercayakan hasil usahanya sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka.

d. Karakterisktik Sufi ( al-Ahwal )

Menurut sufi al-Ahwal adalah jamak dari al-hal dalam bahasa Inggrisnya disebut state adalah situasi kejiwaan yang dipengaruhi oleh sufi sebagai karunia dari Allah. Datangnya situasi atau kondisi psikis itu tidak menentu, terkadang datang dan perginya berlansung cepat yang disebut lawai ada pula yang datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama disebut bawadih . Apabila mental itu telah terkondisi dan menjadi kepribadian maka itulah yang disebut al-hal. Menurut Al-Qusyairi al-hal selalu bergerak naik setahap demi setahap sampai ketingkat puncak kesempurnaan rohani.

Apabila diperhatika dari isi al-hal  itu sebenarnya merupakan manifestasi dari maqam yang mereka lalui sebelumnya . Artinya bahwa kondisi mental yang digambarkan dengan al-hal  itu, adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang mereka lakukan.

Sebagaimana halnya dengan al-maqamat dalam jumlah dan formasi al-hal juga terddapat banyak perbedaan pendapat dikalangan sufi, tapi pendapat yang manyoritas adalah al-Muraqabah, al- khauf al- Raja’, al-Musyahadah, al- Thuma’ninah, dan al-Yakin.

C.  Hubungan Antara Syariat dengan Tasawuf Menurut Al-Gazali

Syari’ah adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah melalui Rasulnya dan berarti sesuai dengan agama yang diajarkan oleh rasul. para pakar modern banyak yang berbeda pendapat tentang hubungan antara Sufisme dengan ajaran Islam. Sebagian berpendapat bahwa sufisme adalah perkembangan eksotik, dan sebagian jejaknya merupakan unsure dari sumber asing atau yang lain misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan) sementara yang lain menentang pandangan tersebut, bagi mereka ini sufisme adalah peristiwa yang sepenuhnya Islami, bahkan mereka mengatakan bahwa kehidupan bersahaja seperti yang di jalankan kaum sufi adalah meniru kehidupan Rasulullah dan sahabatnya. 

Penulis sufisme awal, seperti Al-Sarraj (W. 561), Al-Kalabadzi (W. 390), Abu Nuim (W. 430) dan Al-Qusyairi (W. 465) mendukung pendapat tersebut dan mendalilkan bahwa sufisme merupakan ekspresi murni tentang ekspresi rohani ajaran Islam dan merupakan  perwujudan teramat sempurna dari nilai-nilai rohaniah.

Walaupun cita untuk menjalin keselarasan pengamalan Tasawuf dengan Syariat telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya, namun baru Al-Gazali (W.505) yang secara kongkret berhasil merumuskan bangunan ajarannya, konsepsi Al-Gazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengamalan Sufisme dengan syariat di susun dalam karyanya yang paling monumental “ Ihya Ulumuddin”.

Dari susunan ihya ulumuddin tergambar pokok pemikiran Al-Gazali mengenai hubungan syariat dan tasawuf yakni sebelum mempelajari tasawuf dia harus memperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah serta terlebih dia harus konsekwen menjalankan syariat seperti misalnya shalat, puasa, dan sebagainya yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya di bedakan tingkat orang shalat antara orang awam, orang khawas dan sebagainya.

Syariat adalah landasan tasawuf dan sebagai unsur integual tasawuf itu sendiri, maka tidak ada tasawuf tanpa syariat. Al-Qusyairi sendiri mengatakan bahwa tidak ada maqam atau ahwal yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati tanpa bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah wajib. 

Pernyataan di atas nampak jelas bahwa kecintaan terhadap Tasawuf hendaknya tidak mengabaikan Syariat bahkan semakin tinggi ilmu tasawufnya semakin mendalam pula kewaraannya, kepatuhan dan ketaatannya serta kecintaannya terhadap Allah bukan sebaliknya. Kesalahan mendasar dalam ajaran kaum Sufi adalah sikap kurang mementingkan syariat seolah-olah shalat, puasa dan berbagai bentuk ibadah mahdhah hanyalah untuk orang awam dengan kata lain seseorang yang sudah mencapai maqam paling tinggi dalam tasawuf tidak perlu lagi syariaf. Padahal seharusnya makin tinggi maqam seseorang makin keraslah kesetiannya terhadap ajaran-ajaran syariat, kewajiban menjalankan perintah-perintah syariat mengikat siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi, tak ada satu magam pun yang membuat  orang yang telah meraihnya bebas dari kewajibannya syariat.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
  • Syariat adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf.
  • Syariat dan hakikat adalah saling berhubungan dan saling isi mengisi
  • Barang siapa yang meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, maka bukan saja ketidak kesalehan yang di perolehannya tetapi malah adalah kekafiran.
Pengaruh yang sangat mendasar  ketika Al-Ghazali menjadikan syariat sebagai landasan utama dalam hidup bertasawuf adalah mengikat para sufi untuk tetap menjalankan syariat agama, dan ketika seorang sufi sampai pada maqam tertinggi maka terbukalah rahasia-rahasia dari perbuatannya seperti sholat dan semua gerakannya Bukan sebaliknya .

Dan meskipun Al-Ghazali menganggap sufisme adalah jalan terbaik untuk menuju Allah. Namun dia tetap selaktif terhadap berbagai aliran sufisme pada masanya Al-Ghazali menolak paham al-hulul (al-Hallaj) dan al-Ittihat (al-Bisthami) dan dia menyebutkan bahwa minimal ada 3 golongan diantara para sufi yang tertipu:

Mereka yang berlaga sufi seperti sufi sungguhan baik cara berpakaian ataupun berprilaku padahal mereka sama sekali tidak perna membersihkan bathinnya dari noda dan dosa.
Mereka yang mengaku sudah memperoleh makrifat langsung dari Tuhan yang diketahui dari kata-kata yang keluar dari mulutnya padahal kata-kata tersebut hanyalah kata-kata klise dari perjalanan para sufi lalu mereka hapalkan dan akibat dari presepsi ini dia menganggap hina para ahli ibadah. Mereka yang katanya mementinkan hati lalu mereka membiarkan anggota badannya berbuat maksiat, karena menurutnya hal itu tidak diperhitungkan Tuhan yang dinilai adalah gera hati yang katanya tak perna absent dari dzikrullah.

DAFTAR PUSTAKA

A. Nicholson, Reynold , My Mistics of Islam diterjemahkan oleh Tim Penerjamah BA,Mistik Dalam Islam  Cet. I Jakarta : Bumi Akasara, 1998
An-Nisabury, Imam al-Qusyairy, Ar-Risalatul Qusyairiyyah fi Ilmi Tasawuf diterjemahkan oleh Muhammad Luqman Hakim dengan Judul Risalah al-Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf, Surabaya : Risalah Gusti , 1997.
Ansary, Muhammad Abdul haq , Antara Sufisme dan Syariah , Cet . 2 Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Cet I , Bandung  CV, Pustaka Setia, 2000.
As, Asmaran, Ilmu Pengantar Study Tasawuf , Ed. 2. Cet.2 Jakarta PT Raja Grafindo Persada 2002.